Tangani Persoalan Anak, Kemen PPPA Perkuat Sinergi dengan Lembaga Masyarakat Pemerhati Anak

Tangani Persoalan Anak, Kemen PPPA Perkuat Sinergi dengan Lembaga Masyarakat Pemerhati Anak


Jakarta - Tugas melindungi anak Indonesia bukan hanya menjadi tugas pemerintah. Masyarakat pun memiliki kewajiban yang sama. Untuk itu, pemerintah harus bersinergi dengan semua pemangku kepentingan dalam menangani persoalan anak dan melindungi anak Indonesia. Menindaklanjuti hal inilah, Kemen PPPA mengajak lembaga-lembaga (swadaya) masyarakat untuk berdiskusi tentang persoalan perlindungan anak di Indonesia.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam sambutannya mengatajan, Peran lembaga masyarakat (NGO) sangatlah strategis sebagai salah satu dari 4 (empat) pilar pembangunan anak, yaitu pemerintah, lembaga masyarakat, dunia usaha dan media massa. Melalui pertemuan perdana ini, saya ingin membuka ruang dialog bersama seluruh perwakilan lembaga masyarakat pemerhati anak, untuk menghadirkan suatu layanan perlindungan anak yang bersifat komprehensif dan tuntas dari hulu ke hilir. Dialog Bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) Pemerhati Anak di Jakarta, Senin (29/6/2020).

Menteri Bintang memberikan apresiasi atas bantuan dan kerjasama dari seluruh lembaga masyarakat selama ini.

“Saya harap hal ini dapat terus ditingkatkan dan diperkuat, demi melindungi dan membangun 80 juta anak Indonesia yang kita cintai sesuai RPJMN 2020-2024 yaitu mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 dan SDGs 2030,” tambah Menteri Bintang.

Kemen PPPA telah melakukan upaya pencegahan yang difokuskan pada 5 target utama terkait pembangunan anak untuk lima tahun ke depan. Pertama, melalui anak, dengan peran Forum Anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P) di tingkat nasional hingga desa/kelurahan. Kedua, melalui keluarga, dengan peran Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) sebagai pusat informasi dan konseling yang dilengkapi dengan tenaga professional yaitu psikolog dan konselor. Ketiga, melalui satuan pendidikan dengan peran Sekolah Ramah Anak (SRA) termasuk dalam menerapkan disiplin positif di sekolah.

Keempat, melalui lingkungan, dengan mengembangkan pusat-pusat kreativitas anak, ruang bermain ramah anak, rumah ibadah ramah anak, seperti masjid ramah anak, gereja ramah anak, dan lain-lain. Serta kelima, melalui wilayah/region dengan mewujudkan Indonesia Layak Anak (IDOLA), meliputi Provinsi Layak Anak (PROVILA), Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), Kecamatan Layak Anak (KELANA) dan Desa/Kelurahan Layak Anak (DEKELA).

Terkait upaya pelayanan, Kemen PPPA telah meningkatkan jumlah dan kualitas UPTD PPA, yang ditargetkan dapat dibentuk di seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, juga memperkuat kapasitas SDM Layanan, termasuk melakukan standarisasi SDM, serta memperbaiki sistem data Simfoni PPA dan layanan pengaduan melalui hotline SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) 129.

Pada pertemuan tersebut, beberapa persoalan dan capaian perlindungan anak mengemuka dan didiskusikan oleh peserta.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, Seto Mulyadi atau yang akrab disapa Kak Seto mengungkapkan, selain upaya pemberian layanan pendidikan ramah anak berupa home schooling bagi anak yang stres karena harus belajar di rumah dan mobil kelas berjalan bagi anak yang terpaksa putus sekolah, LPAI juga terus menggencarkan kampanye Spartan (Seksi Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga) yang mengupayakan tindakan preventif terkait cara mendidik anak dalam pengasuhan keluarga dengan baik dan tanpa kekerasan.

“Kampanye tersebut sudah dilakukan di beberapa daerah, kami harap Jakarta menjadi kota dengan seluruh RT yang memiliki Spartan,” jelas Kak Seto.

Koordinator ECPAT Indonesia, Andi mengungkapkan, ke depan pentingnya percepatan pengesahan 2 instrumen hukum sebagai acuan jelas untuk melindungi anak, yaitu Stranas PKTA dan Roadmap Perlindungan Anak di Internet yang saat ini sedang disusun Kemenkominfo dan masih dalam tahap pembahasan.

“Kami harap pengesahan dua instrumen ini bisa disegerakan,” tambah Andi.

Yayasan Bahtera, Hadi mengungkapkan,

lembaga masyarakat memiliki tugas untuk melakukan pencegahan, namun di sisi lain pemerintah saat ini tidak memiliki mandat untuk mengintervensi urusan keluarga terkait dengan kasus kekerasan terhadap anak dalam keluarga.

“Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan anak dan menyelamatkan orang tua agar masuk kembali dalam ‘parenting education program’. Oleh karena itu, RUU Pengasuhan Anak diperlukan untuk menjawab masalah ini, semoga pada 2022 RUU ini bisa segera terwujud,” jelas Hadi.

Di akhir rangkaian acara, Perwakilan Wahana Visi Indonesia, Doseba Sinay menyampaikan surat terbuka tentang Pandemi Covid-19 dan Hak Anak sebagai Inisiatif Gerakan Bersama Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children (IJF to EVAC) yang ditujukan kepada beberapa Kementerian/Lembaga dalam Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Adapun berbagai perwakilan lembaga yang hadir dalam acara Dialog ini yaitu Koalisi Perempuan Indonesia, Kalyanamitra, Forum Nasional Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, Ecpat Indonesia, LPAI, UNICEF, Yayasan Dwitina Rawinala, Yayasan Kakatu, SOS Children Village, Save The Children (YSTC), Yayasan Plan Internasional Indonesia, Wahana Visi Indonesia, Yayasan Bahtera, dan Yayasan Pembinaan Anak Cacat.(Guffe).

0 komentar:

Posting Komentar

 

SEL SURYA

SEL SURYA