Tingkatkan Pemberdayaan Masyarakat, Kurangi Resiko Bencana


Hilir mudik puluhan kendaraan Truk pengangkut pasir, dari hulu sungai Kali Putih ke arah Magelang dan Semarang, tak henti-hentinya hingga 24 jam, meskipun air sungai kadang naik dan membahayakan nyawa dan kendaraannya, serta medan perjalanan dari sungai ke jalan raya cukup sulit, namun mereka tetap tegar untuk  mengangkat pasir yang dibawa air, dari atas Gunung Merapi, yang lebih dikenal dengan “Banjir Lahar Dingin”.
Suka dan duka mereka lalui, karena dengan beban pasir basah yang melebihi tonase terkadang membuat Ban Truk hanya bertahan dua minggu, dan sering kali meletus di jalan saat mengangkut pasir,  belum lagi oknum petugas DLLAJ di Jembatan Timbang, yang selalu mengutip pungutan seenaknya sendiri. Mulai  dari puluhan ribu hingga ratusan ribu, bahkan terkadang mereka harus membayar  uang sidang yang rutin di pengadilan sebulan sekali, karena besarnya tonase yang melebihi muatan yang ditentukan untuk sebuah kendaraan truk.
Suhariyanto, seorang supir Truk Engkel (ukuran Kecil) yang sudah puluhan tahun mengangkut pasir dari lereng Merapi, saat ditemui wartawan  Progresif mengaku usahanya sudah tidak  menjanjikan lagi, karena permintaan pasir masyarakat sangat sedikit, sementara harga jual dengan banyaknya truk pasir justru harga pasir menurun, sementara dirinya harus mengeluarkan uang dijalan.
Mulai  dari Solar Rp.150.000,-, biaya menaikkan pasir dengan Beko ke Truk senilai Rp.120.000,- uang retribusi pasir  (TPR) senilai Rp.35.000,- serta  pungutan disetiap jembatan timbang Rp.25.000,- belum lagi pungutan lain, jadi  jumlah uang yang harus dikeluarkan sebelum pasiri laku, sekitar Rpp. 350.000,- ini cukup besar , sementara harga jual pasir satu truk berkisar Rp. 500.000,-  jadi kalau dipotong setoran Truk 100 ribu, maka untuk satu kali jalan hanya mampu mengantongi sisa 50 ribu. Sementara  kalau pasir mereka tidak laku,  maka pasir yang mereka angkut, hanya dijual pada pengumpul pasir, dengan harga yang murah, sehingga uang tersebut setelah dipotong setoran truk, hanya bisa membawa pulang uang, Rp. 25.000,- satu kali angkut, ungkap Suharyanto.
Dibalik usaha mengais rezeki dengan mengangkut pasir dari lereng Gunung Merapi, serta sungai-sungai yang dipenuhi lahar dingin tersebut, sebenarnya secara tidak disengaja, mereka telah membantu Pemerintah maupun warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi, karena tanpa Truk Pasir yang mengangkut dari hulu Sungai, maka endapan pasir di sungai akan terus menggunung, bahkan lahar dingin yang menghantam  pemukiman warga akan semakin meluas.
Dari data yang ada, lahar dingin berupa batu dan pasir yang ada diatas Gunung Merapi, lebih dari seratus empat puluh juta meter kubik, dan akan turun setiap saat, apabila hujan mengguyur wilayah Gunung Merapi tersebut, kalau sungai-sungai yang ada sudah dangkal, maka ancaman lahar dingin akan meningkat, dan pasti luapan lahar dingin tersebut akan melebar ke pemukiman maupun areal persawahan masyarakat yang tinggal disekitar sungai.
Kondisi tersebut harus menjadi perhatian khusus Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, bagaimana mendorong agar lebih banyak lagi Truk Pasir, untuk memindahkan pasir dari Sungai ke daratan, mulai dengan mengurangi ongkos penaikkan pasir alat berat Beko ke Truk (kalau perlu menyediakan Beko Gratis), menghapus retribusi pasir (TPR), menghapus pungutan liar dan pungutan jembatan timbang. Bahkan apabila memungkinkan, Pemerintah memberikan harga subsidi Ban Truk, pada truk- truk pengangkut pasir yang terdaftar dalam koperasi/Paguyuban. dengan demikian semangat memindahkan pasir dari Sungai ke tempat yang lebih jauh, dapat meningkat, dan sungai yang dipenuhi pasir maupun batu dapat diangkat, sehingga air hujan serta lahar dingin, tidak melebar ke pemukiman masyarakat.  (Sos).

0 komentar:

Posting Komentar

 

SEL SURYA

SEL SURYA