Pekan Kebangsaan DHN 45, Bangun Semangat Juang Pemuda Indonesia

Dewan Harian Nasional 45 sebagai Organisasi Badan Pembudayaan Kejuangan 45, yang juga salah satu Organisasi yang tujuannya adalah melestarikan dan mengembangkan Jatidiri Bangsa kepada seluruh lapisan masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Bertempat di Sekretariat DHN 45 jalan Menteng Raya 31 Jakarta Pusat, mulai 28 Oktober hingga sepekan menggelar kegiatan Pekan Kebangsaan, acara tersebut dibuka secara resmi oleh Tokoh Pejuang yang juga mantan Wakil Presiden RI, Jenderal TNI (Purn) Tri Sutrisno.

Disela acara tersebut Ketua Umum DHN 45 Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto pada wartawan menjelaskan, bahwa kegiatan Pekan Kebangsaan kali ini merupakan kegiatan dalam memperingati dan menghayati Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, kita ingin menanamkan nilai-nilai kejuangan pada Pemuda sebagai Generasi Penerus Bangsa, kita ingin mengingatkan kembali akan Sumpah Pemuda yang telah dideklarasikan tahun1928.

Diakuinya saat ini telah terjadi kemerosotan nilai-nilai kebangsaan dikalangan Pemuda Indonesia, sifat kedaerahan kini muncul kembali, demikian juga para mahasiswa saling ejek dan saling serang, mereka selalu mempertentangkan perbedaan, padalah sebagaimana kometmen Sumpah Pemuda mereka adalah satu bangsa, dan tidak boleh lagi membeda-bedakan masalah suku, ras dan agama, kita telah sepakat untuk satu tujuan yaitu Indonesia yang Merdeka, Bersatu dan Berdaulat, tegasnya.

Sementara Mantan Wakil Presiden RI, Jenderal TNI Tri Sutrisno juga mengaku prihatin dengan kondisi bangsa saat ini, bangsa ini masih terjajah dan belum sepenuhnya Merdeka, kalau dahulu penjajah kelihatan sehingga bisa dilawan, tetapi saat ini penjajahan terjadi didalam sendiri, oleh sebab itu perlu upaya menanamkan kembali pada para Pemuda akan jatidiri bangsa, tegasnya.

Saat disinggung akan banyaknya Capres menjelang Pemilu 2014 khususnya Pemuda, Tri Sutrisno yang juga Ketua Dewan Kehormatan DHN 45 ini justru kembali bertanya, sampai sejauhmana pengabdian mereka pada bangsa dan negara, Capres harus memiliki komitmen untuk melanjutkan dan mengisi Kemerdekaan, yaitu meningkatkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Capres harus bisa memperjuangkan aspirasi rakyat, tegasnya

Readmore »

Pergelaran Kesenian Betawi Diruang Publik

Kesenian Lenong  tahun demi tahun terus mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas seni dan daya jual, para seniman betawi telah sepakat untuk membentuk kesenian Lenong Modern menjadi Komedi Betawi yang kini telah banyak menghiasi dunia hiburan komedi di beberapa stasiun televisi nasional dan TV Swasta di Indonesia.

Menurut Sutradara Komedi Betawi Syaiful  Amrie, bahwa Komedi Betawi tetap mengacu pada Seni Lenong,  sebagai sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela, serta ceritera Toponimi yaitu menceriterakan akan asal muasal nama daerah atau nama jalan maupun cerita perjuangan para pahlawan dalam memerangi penjajah kala itu.

Kesenian Lenong masa dahulu juga banyak terdapat diwilayah Jakarta Timur, dan kini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan bersama Balai Latihan Kesenian Jakarta Timur terus melestarikan dan mengembangkan Lenong, menjadi Lenong Modern atau lebih dikenal dengan istilah Komedi Betawi (Kombet) yang tersebut juga dilakukan agar kualitas tampil menjadi lebih menarik dan makin dicintai masyarakat, khususnya generasi muda, ungkap Ketua Yayasan Kombet yang juga artis layar kaca ini.

Sementara disela acara Pergelaran Kesenian Hasil Pelatihan Di Ruang Publik, Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur di Anjungan Jawa Barat yang menampilkan Lenong Modern/Kombet, Kepala BLK Jaktim Abdilah juga menambahkan, bahwa Pergelaran seni kali ini merupakan apresiasi seni bagi para seniman Lenong Modern serta Seni Tari Betawi yang telah belajar di BLK Jaktim, beberapa materi khusus telah diberikan pada mereka, seperti penguasaan panggung, Make Up karakter hingga Manajeman hiburan, sehingga diharapkan mereka akan lebih menguasai seni peran maupun pengelolaan panggung hiburan, tegasnya.

Pengamat Seni Tradisi, Abas Sudiana, S.Sn disela acara tersebut pada wartawan mengaku bangga dengan upaya yang dilakukan Pemprov DKI melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang memiliki komitmen dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi sebagai Budaya asli masyarakat Betawi, dimana Disparbud memiliki 5 unit pelaksana teknis Balai Latihan Kesenian di lima wilayah Kota, yang terus memfasilitasi pada seniman maupun warga dalam mengembangkan seni budaya, khususnya Betawi. Sehingga kedepan akan muncul seniman-seniman muda sebagai generasi pelestari budaya Betawi.

Kegaitan  Pergelaran Kesenian Hasil Pelatihan Di Ruang Publik seperti ini harus terus didukung, karena selama ini mereka berlatih tanpa disaksikan oleh banyak penonton, sementara untuk tampil didepan penonton, para seniman harus dapat tampil maksimal dalam membawakan, sesuai karakter mereka, dan itu juga harus seringkali dilakukan oleh para seniman, sehingga mereka akan mampu mengevaluasi diri menjadi seniman terbaik, tegas Abas Sudiana, S.Sn.



Readmore »

STP Trisakti Gelar Wisuda, Cetak Tenaga Profesional Dibidang Pariwisata

Wisuda Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti tahun Akademika 2012-2013 kali ini akan berbeda dengan tahun sebelumnya, karena Wisudawan kali ini disamping diikuti oleh Program Study Perhotelan dan Jasa Perjalanan Wisata, Jenjang Pendidikan Diploma IV, III dan Diploma I. Juga diikuti Wisudawan dari Program Pasca Sarjana Perhotelan.

Dalam acara jumpa PERS yang digelar di Ruang Rapat STP Trisakti, Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti  Fetty Asmaniati,SE,MM didampingi Wakil Ketua STP Trisakti Chondro Suryono, SE.,MM menjelaskan, bahwa Wisuda yang akan digelar di Gedung Manggala Wanabhakti Jakarta tersebut juga akan dihadiri oleh beberapa Pimpinan Perhotelan dari Malaysia serta beberapa Pimpinan Perhotelan di Tanah Air, yang selama ini menjadi Mitra ST Pariwisata Trisakti dan Wisudawan juga akan dihibur dengan beberapa jenis Kesenian Tradisional yang dibawakan Mahasiswa STP Trisakti.

Wisuda kali ini STP Trisakti akan mewisuda 526 Wisudawan, dimana jumlah tersebut dari Program S2 berjumlah 82 Wisudawan, dan 85% diantaranya sudah bekerja di usaha Pariwisata, Perhotelan serta Biro Perjalanan Wisata, sementara sisanya adalah pengusaha dibidang Wisata dan Perhotelan, namun ada juga yang ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi di STP Trisakti, tegasnya.



Sementara Puket STP Trisakti Chondro Suryono, SE.,MM juga menambahkan, bahwa Wisudawan kali ini juga dari Program Beasiswa yang diterima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, dari Alumni STP Trisakti, serta dari Yayasan Trisakti dan dari perorangan, mereka mampu menyelesaikan kuliah dengan nilai bagus dan sangat memuaskan.

Jumlah alumni STP Trisakti saat ini sudah mencapai 10 ribu lebih, dan mereka tersebar di berbagai dunia usaha Wisata di dalam negeri maupun luar negeri, seluruh Program Studi di STP Trisakti terakreditasi A, sementara untuk Program Pasca Sarjana dengan Akreditasi B, dan STP Trisakti juga telah memperoleh ISO 9001, bahkan beberapa waktu lalu STP Trisakti juga memperoleh penghargaan tertinggi “SNI AWARD 2013” karena seluruh produk dan peralatan yang dipakai di STP Trisakti juga sudah memiliki standar nasional Indonesia, ini sebagai wujud keseriusan seluruh jajaran Akademika STP Trisakti dalam menyiapkan lulusan yang unggul dan mampu bersaing diera global. Serta menjadikan sebagai Perguruan Tinggi Pariwisata Berkualitas Global dan Pusat Unggulan Pengembangan Ilmu Pariwisata dan Hospitaliti sebagaimana Visi STP Trisakti, papar Chondro Suryono, SE.,MM.

Readmore »

Pergelaran Komedi Betawi, Wujud Regenerasi Seniman Betawi

Lenong adalah kesenian teater tradisional atau sandiwara rakyat Betawi yang dibawakan dalam dialek Betawi yang berasal dari Jakarta, Kesenian tradisional ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral, yaitu menolong yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela.

Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi.

Kesenian Lenong tersebut tahun demi tahun terus mengalami perubahan mengikuti perkembangan zaman, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan daya jual, seperti Seni Komedi Betawi (Kombet) yang digagas beberapa seniman Betawi, namun tidak menghilangkan pakem lenong itu sendiri, baik bahasa dan musiknya, dan kini Yayasan Komedi Betawi bekerjasama dengan Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur terus berupaya mengembangkan dan melestarikan seni Lenong Modern menjadi Komedi Betawi.

Menurut Sutradara Komedi Betawi yang juga ketua Yayasan Kombet, Syaiful Amrie pada wartawan menjelaskan,  bahwa dengan pembinaan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui kesenian Komedi Betawi, saat ini telah banyak memunculkan seniman-seniman Betawi yang mampu bersaing di dunia entertain,  karena seninam Betawi memiliki karakter tersendiri, yaitu sedikit lucu, sehingga mampu menghiasi dunia Sinetron tanah air.

Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur kini memiliki program dengan pengembagan kesenian Lenong Modern, dan pada Pergelaran Kesenian Hasil Pelatihan Di Ruang Publik, Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur di Anjungan Jawa Barat ini, kita bersyukur dapat memberikan ruang apresiasi pada para seniman Lenong Modern untuk tampil di hadapan penonton, khususnya pengunjung TMII anungan Jawa Barat, sehingga diharapkan mereka akan dapat menganalisa serta menilai penampilan mereka, dengan demikian mereka akan terus memperbaiki diri menjadi seniman sejati, paparnya.
disamping Komedi Betawi dalam pergelaran kesenian tersebut juga ditampilkan beberapa Seni Tari Betawi Kreasi, hal tersebut merupakan bentuk apresiasi seni bagi para seniman tari yang telah belajar di BLK Jakarta Timur.

Readmore »

Pemda DKI Berikan Insentif Marbot dan Pengurus Ta’mir Masjid se-DKI Jakarta

Pernahkah anda mendengar nama atau profesi “Marbot Masjid”? bagi yang sering ke masjid atau dekat dengan masjid profesi ini tentunya sangat familiar. Namun bagi yang jarang ke masjid, jauh dari masjid dan tidak pernah mendiskusikan hal hal seputar keagamaan maka profesi ini akan terasa cukup “janggal” dan “baru”.

Marbot Masjid oleh banyak kalangan diartikan sebagai penjaga masjid atau seseorang yang ditugaskan untuk menjaga kebersihan masjid dan juga sekaligus menjadi penanggungjawab segala ritual ibadah di masjid seperti adzan lima waktu, menjadi imam cadangan, dan juga khatib cadangan. Belum lagi tugas tugas teknis lainnnya seperti bertanggungjawab atas kebersihan dan kerapian masjid. Tugas Marbot ini sungguh begitu berat karena harus stand by 24 jam mengurusi segala kegiatan di masjid. Dan untuk membantu meningkatkan ekonomi Marbot Masjid, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan uang bagi seluruh Masjid di Ibukota Jakarta.

Disela acara penyerahan bantuan Insentif Marbot dan Pengurus Ta’mir Masjid se-DKI Jakarta di Masjid Sunda Kelapa beberapa waktu lalu, Gubernur DKI Jakarta yang diwakili Walikota Jakarta Pusah Dr. H Saefullah MPd menegaskan, bahwa dengan bantuan ini diharapkan Marbot dan Pengurus Ta’mir Masjid akan lebih giat dalam bekerja melayani umat Islam untuk beribadah, dengan pegutas Masjid/Marbot yang rajin, maka Masjid akan semakin bersih sehingga umat yang beribadah juga semakin nyaman, paparnya.

Ketua DMI DKI Drs. KH Syamsuddin juga menegaskan, bahwa bantuan buat Marbot di wilayah Provinsi DKI Jakarta ini, merupakan bantuan yang pertama kali diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta, jumlah penerima bantuan adalah 3.148 Marbot, dimana masing-masing Marbot akan diberi insentif sebesar 2,7 Juta pertahun, karena ini pertama kali maka masih ada diantara Marbot yang belum menyelesaikan administrasi, oleh sebab itu hari ini yang diserahkan baru 1.682 Marbot, dan yang lain akan diberikan menyusul setelah memenuhi administrasi, dan bantuan akan di transfer ke rekening masing-masing tanpa ada pungutan, dan DMI DKI untuk menyalurkan bantun bekerjasama dengan Bank Syariah Mandiri, sehingga bantuan akan tepat sasaran dan tetap guna, tegasnya.

Upaya lain utuk membantu Marbot, DKI Provinsi DKI Jakarta juga telah melakukan kerjasama dengan BUMD dilingkungan Provinsi DKI Jakarta, dengan memberikan pelatihan kewirausahaan, sehingga Marbot juga memiliki tambahan penghasilan, kita akan buatkan tempat usaha di sekitar Masjid untuk peningkatan ekonomi Marbot Masjid, tambah KH Syamsuddin.

Hal senada juga diungkapkan Ketua DMI Kota Administrasi Jakarta Pusat, KH. AD Kusumah, sebagai tokoh masyarakat berterimakasih atas bantuan Gubernur DKI pada Marbot Masjid, namun dirinya berharap bantuan kedepan juga diberikan pada Imam Masjid dan Fisabilillah/pengajar di Masjid, sehingga upaya optimalisasi peran dan fungsi Masjid akan meningkat, paparnya.

Readmore »

KOMBET AWARD 2013

Yayasan Komedi Betawi akan kembali memberikan penghargaan pada Tokoh Masyarakat, Pelaksana Pemerintah maupun Seniman yang teleh berjasa dalam Melestarikan dan Mengembangkan Budaya Betawi khususnya Kesenin Betawi, penghargaan tersebut lebih dikenal dengan "KOMBET AWARD:"

Menurut Ketua Yayasan Komedi Betawi, Syaiful Amrie KOMBET AWARD tahun 2013 kali ini akan diberikan pada Seniman Betawi JALI PUTRA (maestro Gambang Rancag dan Lenong Denes) dan rencana juga akan diberikan pada Seniman Betawi Rano Karno yang saat ini juga menjabat sebagai Wakil Gubernur Provinsi Banten,

acara pemberian Penghargaan KOMBET AWARD 2013 akan diserahkan pada hari Selasa 26 November 2013 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, dan juga akan dihadiri beberapa artis ibukota yang turut bermain dalam acara Komedi Betawi tersebut.

dengan apresiasi ini diharapkan juga akan memacu kualitas seniman, Khususnya Komedian Betawi dalam melestarikan dan mengembangkan Budaya Betawi sebagai bagian budaya Bangsa. papar Syaiful Amrie yang juga Sutradara Kombet.

Readmore »

Hj Ernawati Ratma, SE, MM Tingkatkan Kebersamaan Dengan Penyembelihan Hewan Qurgan

Perayaan Idul Adha yang berlangsung secara rutin disetiap tahun, merupakan moment yang sangat baik, bagi umat Islam untuk saling berbagi diantara sesama. Hal tersebut juga dilakukan Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Partai PDI Perjuangan daerah pemilihan Jakarta IV, yang meliputi wilayah pemilihan Kecamatan Pulogadung, Cakung dan Matraman, Hj Ernawati Ratma, SE, MM.

Pengusaha Wanita yang juga pimpinan Rumah Sehat 786 dan Bimba AIUEO ini turut memberikan hewan Qurban, dan Daging Sapi serta Kambing tersebut dibagikan pada Mustahiq dan Kaum Dhuafa di daerah sekitar Sekretariat serta Kantor dibilangan Cipinang Pulogadung Jaktim.

Dalam kesempatan tersebut Hj Ernawati Ratma, SE, MM saat ditemui wartawan menjelaskan, bahwa pemberian daging Qurban ini, bertujuan untuk meningkatkan iman dan taqwa, melalui ibadah qurban juga sebagai bentuk kepedulian kita kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan,

Hewan qurban ini sebagai wujud membangun keiklasan. dan Kebersamaan yang terjalin selama ini, dan hendaknya bisa terus dijaga serta diharapkan mampu menghadapi berbagai tantangan dengan mengatasi bersama-sama,paparnya.

Readmore »

SD Angkasa V Terima Kunjungan Duta LS-STBM

Sekolah Dasar Angkasa V, sebagai salahsatu sekolah dasar yang memperoleh predikat Sekolah Sehat tingkat Provinsi dan Nasional, pada Kamis (17/10), memperoleh kunjungan Duta Lingkungan Sehat melalui Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Duta LS-STBM), sambutan yang diberikanpun cukup baik, mulai dari Tarian Penyambutan dari daerah Sumatera Utara, Tarian Cuci Tangan dan Tarian Daerah lain.

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Sekolah SDS Angkasa V, Sri Mulyana pada wartawan menegaskan, bahwa pihaknya merasa terhotmat dengan kunjungan Tim dari Kementerian Kesehatan ini, sehingga diharapkan dukungan dari orang tua murid pada pengelolaan pendidikan dan peningkatan kualitas pembelajaran di SD Angkasa V.

Diakuinya keberhasilan sebagai sekolah sehat taklain karena peran semua komponen di sekolah, baik Guru, Orang Tua, Komite Pendidikan termasuk siswa itu sendiri, sebagaimana Visi dan Misi Sekolah, serta Semboyan para pengelolan SDS Angkasa V, yaitu “daripada seribu kali berbicara, lebih baik satu kali mencontong”,  sehingga kami dan para guru seringkali mengambil sampah dan ngepal lantai untuk memberikan contoh pada anak didik, demikian juga dalam kegiatan anak dalam membiasakan diri hidup sehat dengan cuci tangan, papar Sri Mulyana.

Hal senada juga diungkapkan Perwakilan dari Direktorat P2PL Kementerian Kesehatan RI, Yuliah, pihaknya terus mendukung program dalam upaya membiasakan hidup sehat, karena memang harus dimulai dari usia dini, program membiasakan cuci tanganharus terus digulirkan di seluruh sekolah, sehingga anak didik dapat terhindar dari penyakit, karena cuci tangah sebelum makan akan mampu menekan penyakit hingga 50%, kita berharap seluruh orang tua siswa juga mendukungnya, dan kita akan terus membangun kerjasama dengan dunia usaha dalam program Sekolah Sehat ini, paparnya.

Readmore »

DPD PARTAI DEMOKRAT DKI, POTONG 14 SAPI DAN 15 KAMBING

Seusai mengikuti Sholat Idul Adha, seluruh jajaran DPD dan DPC partai Demokrat se-DKI Jakarta, bertempat di Kantor DPD Partai Demokrat di jalan Pemuda Jakarta,  menggelar acara Pemotongan hewan Qurban, disela acara tersebut, Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi DKI Jakarta, H Nachrowi Ramli SE pada wartawan menegaskan,bahwa pemyembelihan hewan qurban di DPD Partai Demokrat  ini, merupakan wujud Kepedulian seluruh jajaran Partai Demokrat.

 14 Ekor Sapid an 15 Kambing ini, merupakan bukti bahwa Partai Demokrat sebagai partai Nasionalis Religius.

Lebih jauh H Nachrowi juga menegaskan, bahwa dalam Idul Qurban saat ini seluruh jajaran Partai Demokrat turutserta mengikuti kegiatan sholat Idul Adha, dan sebagaimana Partai Demokrat sebagai Partai Nasionalis Religius, jajaran pengurus Partai Demokrat DKI Jakarta yang beragama Islam dan mampu untuk melaksanakan Qurban,  dihimbau untuk mengeluarkan kewajiban berqurban,

Saat ini DPD Partai Demokrat juga telah membagi wilayah bagi Caleg, oleh sebab itu himbauan pada Caleg juga telah dikeluarkan, agar seluruh caleg dapat berbagi dengan penyembelihan hewan Qurban diwilayah masing-masing, sehingga pemberian hewan Qurban tidak dipusatkan di DPD maupun DPC.

Namun  demikian DPD maupun DPC Partai Demokrat tetap melaksanakan pemotongan hewan Qurban, dan DPD Partai Demokrat di jalan pemuda ini, kali ini memotong 14 ekor Sapid an 15 Kambung, seluruh daging dengan hewan seberat 4.000 Kg kita bungkus dan akan kita bagikan pada warga sekitar secretariat maupun di titik-titik lingkungan warga Jakarta yang warganya benar-benar membutuhkan, kita akan hantarkan ke warga, yang pasti dengan berqurban ini juga akan meningkatkan rasa kebersamaan dan keiklasan jajaran pengurus Partai Demokrat, untuk terus dan terus berbuat pada masyarakat,  tegas H Nachrowi Ramli.
Readmore »

BAMUS BETAWI Potong Hewan Qurban Bagi Mustahid dan Dhuafa

Sebagai salahsatu wadah dari beberapa organisasi Masrakat Betawi, Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi)  sebagaimana tradisi didalam mengisi Hari Raya Idul Adha, taklupa menyembelih Hewan Qurban, dan untuk kali ini Bamus Betawi menyembelih 10 ekor sapi dan 1 Kambing. Dan dibagikan pada , kaum dhuafa, para Janda, serta masyarakat lingkungan kantor Bamus Betawi, maupun Ormas pendukung.

Disela kegiatan Qurban tersebut, panitia qurban yang juga Ketua Umum BRAJA, M Rifky atau yang lebih akrab dipanggil Eki Pitung pada wartawan menjelaskan,  bahwa dengan qurban kali ini, merupakan bentuk kepedulian jajaran Bamus Betawi  dalam mengikuti perintah Allah SWT, bagi yang mampu untuk berqurban, dan alhamdulillah Bamus Betawi mampu mengkoordinir serta mendistribusikan daging qurban ini kepada Mustahid dan warga Jakarta yang tidak mampu.

Dan dengan berqurban juga diharapkan dapat meningkatkan kepedulian sosial, dan tujuan baik demi merasakan pengorbanan Nabi Ibahim dan Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah, tegas Eki Pitung.

Lebih jauh dijelaskan, bahwa bantuan 12 Sapi dan 5 Kambing ini bantuan dari Gubernur Jokowi, Wagub Ahok,
Djan Fatidz Ketua Umum Bamus Betawi, Mantan Ketua Umum H Nachrowi Ramli, Dewan Pembina Bamus H Fauzi Bowo, Walikota Jakpus H Saefullah, Walikota Jakut Bambang S, Walikota Jakarta Barat Fatahillah, Wakil Ketua Bamus H Lulung Lunggana, Firdauz Djaelani, Wiratmoko serta Tokoh Betawi lainnya, 3000 kantong daging Qurban akan kita bagikan di 5 wilayah Kota dan Kabupaten Kepulauan Seribu, melalui Ormas Betawi yang ada diwilayah tersebut, dengan bantuan Hewan Qurban ini sebagai wujud kebersamaan dan persatuan masyarakat Betawi, tegas M Rifky yang juga Calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi DKI Jakarta ini.


Readmore »

Aneka Kuliner dan Kesenian Betawi, Meriahkan Festival H Naman


 
Festival H Naman yang digelar disepanjang jalan H Naman Pondok Kelapa Jakarta Timur, memperoleh sambutan dari warga sekitar jalan H Naman maupun beberapa CSR Perusahaan diwilayah Jakarta Timur. Lebih dari seratus pedagang, memeriahkan acara tersebut, yang lebih menarik ibu-ibu PKK dari beberapa kelurahan yang ada, juga menggelar lomba Sayur Asem Betawi, sementara dibazar terdapat banyak makanan betawi, mulai dari Soto Betawi, Kerak Telor, Becak Bandeng dan aneka kue Betawi.



Dipanggung utama sejak pagi digelar aneka pertunjukkan, mulai dari Tari Betawi, Marawis, Pantomin, Palang Pintu, Ondel-ondel, Komedi Betawi, Musik Gambang Kromong dan aneka mainan tradisional seperti Gasing dan egrang, menurut Kepala UPT Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur, Abdillah dalam sambutannya menegaskan, bahwa Festival H Naman ini merupakan kegiatan warga Jakarta Timur untuk memberikan penghargaan pada Pahlawan Betawi H Naman.



Diakuinya anak-anak yang membawakan aneka kesenian betawi adalah binaan BLK Jakarta Timur, mereka adalah pelaku seni dari beberapa sanggar yang ada di Jakarta Timur, melalui Festival H Naman ini, kita memberikan ruang apresiasi pada para seniman untuk tampil menunjukkan kreatifitasnya, tegas Abdillah.



Wakil Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta DR Tinia Budiarti juga menegaskan bahwa Festival H Naman yang digelar kedua kali ini sudah lebih baik dari tahun sebelumnya, kini sudah diagendakan menjadi agenda tahunan, dan diharapkan partisipasi warga akan lebih besar lagi, dengan partisipasi aktif anak-anak dan remaja dalam Festival H Naman ini, juga diharapkan nilai kejuangan yang ada pada Pahlawan Betawi H Naman akan dapat tertanam pada anak-anak.



Camat Duren Sawit Drs. Abu Bakar, M.Si juga mengaku mendukung penuh kegiatan Festival H Naman ini, kalau saat ini baru Sayur Asem Betawi yang dilombakan, maka kedepan diharapkan aneka makanan betawi juga harus di perbanyak, sehingga kuliner betawi semakin dikenal luas, harapnya.
Readmore »

Kelompok Kesenian Baleganjur SEGAR Rawamangun Meriahkan Festival H Naman

Festival H Naman yang digelar dalam upaya apresiasi seni budaya Betawi, memperoleh dukungan dari beberapa Kesenian Provinsi lain, salahsatunya adalah Kesenian dari Provinsi Bali yang dibawakan oleh Kelompok Baleganjur Sekeha Gong Pura Aditya Jaya Rawamangun (SEGAR), dibawah binaan I Gusti Anom.



Kesenian Gamelan Baleganjur ini membawakan Tetabuhan Wirabhakti, adalah tetabuhan ungkapan rasa gembira bahwa para pemuda ini telah mampu berkreasi seni Bali dan mempergelarkannya dihadapan masyarakat luas, selain penabuh Gamelan prosesi pawai Baleganjur Wirabhakti ini juga diisi oleh para Putri pembawa Canang Gebogan (yang berisi buah-buahan), penari Baris dan Topeng, dan pembawa payung Bali.



Menurut Pembina Sekeha SEGAR, I Gusti Anom, bahwa penabuh kesenian Baleganjur SEGAR ini anggotanya terdiri dari para pemuda-pemudi yang mempunyai kegiatan aktif di Pura Aditya Jaya Rawamangun dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Toraja, Sulawesi, Lampung, Timur Indonesia dan Bali sendiri yang berdomisili dan Belajar di Jakarta Timur, dengan kegaitan ini juga diharapkan akan mampu menarik minat bagi generasi muda untuk bersama-sama melestarikan budaya bangsa dan membangun tali silaturahmi sesama anak bangsa, paparnya.



Bagi pengunjung yang memadati sepanjang jalan H Naman, mengapresiasi penuh kesenian tradisional masyarakat Bali tersebut, mereka tidak mau ketinggalan momen yang unik, sehingga mereka berebut untuk foto bersama, atau sekedar memotret untuk dokumen yang kemudian mereka upload di FB maupun BB.



I Gusti Ngurah Budi Suartama Jaksa, Mahasiswa Teknik Pertambangan Universitas Trisakti 2013 mengaku senang dapat turutserta terlibat mengisi kegiatan Festival H Naman bersama Tim Kesenian Baleganjur SEGAR Rawamangun Jaktim, semoga kegiatan ini dapat diagendakan tiap tahun, serta melibatkan seluruh komponen masyarakat kesenian Nusantara, paparnya.



Iring-iringan pawai mulai dari Drumband, Ondel-ondel, Baleganjur SEGAR hingga arak-arakan pelajar SD hingga SMA, mereka menuju makam pahlawan Betawi, H Naman, Tokoh Betawi yang juga Ketua Umum yang juga Presiden Front Betawi Bersatu (FBB) H Amirullah H Ag mengaku bangga dengan tampilnya kesenian lain selain kesenian Betawi, termasuk seni Jawa dan Seni Bali, ini menunjukkan tingginya rasa kebersamaan di Jakarta, ungkapnya.



Readmore »

Festival H Naman, Sarana Pengembangan Budaya dan Kuliner Betawi

Kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki program unggulan Kaki Lima Night Market, dalam meningkatkan pengembangan kuliner dan ekonomi warga Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan melalui Balai Latihan Kesenian Jakarta Timur juga menggelar iven serupa dengan tema “Festival H Naman”, yang digelar disepanjuang jalan H Naman Pondok Kelapa, acara tersebut juga didukung beberapa pengusaha disekitar H Naman, Warga Pondok Kelapa dan CSR beberapa Perusahaan di Jakarta Timur, seperti PT Antam Logam Mulia Tbk, PT Wing, Coca Cola, Top Koffee serta produk lain di Jakarta Timur.

Holidah Fauzia M.Ag pimpinan Holidy Comunication pada wartawan menjelaskan, bahwa pihaknya bersyukur dapat turut berpartisipasi dalam invent Festival H Naman ini, karena disamping mampu meningkatkan ekonomi warga sekitar jalan H Naman, juga mampu memperkenalkan Tokoh Pejuang Betawi Haji Naman, yang mungkin sudah dilupankan warga Jakarta sendiri, sehingga nilai kejuangan yang ada pada H Naman juga tertanam pada generasi Muda.  Dan  pihaknya berharap iven ini dapat menjadi agenda rutin tahunan, oleh Balai Latihan Kesenian Kota Jakarta Timur, harapnya.

Ketua Penyelenggara Festival H Naman yang juga Seniman Betawi, Syaiful Amrie juga menambahkan, bahwa Kegiatan Festival Haji Naman yang menampilkan aneka kesenian Betawi dan aneka Lomba bertema Budaya Betawi, merupakan apresiasi seni bagi warga Jakarta Timur, karena seluruh seniman yang tampil adalah dari sanggar-sanggar seni di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur, sebagian besar mereka adalah binaan Balai Latihan Kesenian Jaktim.

Untuk meramaikan acara tersebut panitia sengaja menggelar bazar aneka produk dan Kuliner disepanjang jalan Haji Naman, kita ingin beberapa masakan dan kue khas Betawi juga semakin dikenal masyarakat, dan dengan bazaar aneka produk juga akan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, kita berharap kegiatan Festival H Naman juga dapat diteruskan oleh Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur, maupun Pemerintah Kecamatan Duren Sawit, untuk kegiatan Kaki Lima Night Market di Jakarta Timur, harapnya.

Readmore »

Toni Yunus : Tidak Benar Keris Mengandung Mistik

Keris sebagai khasanah budaya Indonesia yang telah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai cagar budaya non bendawi setelah wayang dan batik, perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar pemahaman keris yang konon mengandung mistik serta menyimpan banyak jin adalah hal yang tidak benar. “Keris adalah karya seni yang memiliki falsafah yang bisa diterapkan dalam kehidupan, jadi tidak benar dan pemahaman yang keliru kalau keris itu mengandung kekuatan mistik,” Jelas Toni Yunus dari Komunitas Panji.

Keris senjata tikam yang merupakan salah satu karya seni budaya yang dimiliki oleh Indonesia, merupakan identitas dan ciri khas yang mencerminkan Indonesia sebagai bangsa yang besar.”Hal tersebutlah yang mengilhami terbentuknya Komunitas Panji Nusantara, yang bertujuan untuk mengembangkan budaya perkerisan agar tidak putus dan mengekspresikan hasil karya baru supaya budaya keris tidak luntur,” tegas Toni.

Komunita Panji Nusantara yang dibentuk sejak tahun 2005, menurut Toni memiliki misi untuk meluruskan pemahaman yang keliru serta mensosialisasikan khususnya kepada generasi muda bahwa keris sebagai senjata tikam agar tidak dikeramatkan. “Untuk itu Komunitas Panji Nusantara akan menggelar pameran keris yang bertajuk Keris Kamardikan,” terang Toni. Komunitas Panji Nusantara saat ini beranggotakan lebih dari 600 orang. “Yang menarik 20% anggota Panji Nusantara adalah orang asing, seperti Prancis, Jerman, Belanda, Singapura, Hawai dan Brunei Darusallam,” katanya.

Sosok Toni Yunus yang menggeluti dunia perkerisan sejak tahun 1976 kini telah mampu menciptakan beragam jenis keris. “Ada dua cara untuk melestarikan kerioni. Pertama menurutnya, harus mampu meneliti dan membedakan antara keris sepuh/tua dengan baru. “Keris sepuh harus dirawat atau ditempatkan seperti di museum-museum yang terkait dengan peninggalan budaya dan sejarah, seperti Museum Nasional, sedangkan pelestarian berkelanjutan dengan cara menciptakan keris-keris baru serta membina seniman-seniman keris,” terang Toni.

Dalam pameran Kridaya  Toni Yunus menampilkan 30 jenis keris. “Ini adalah pameran kedua yang saya ikuti dan semua keris yang dipamerkan memiliki motif atau pamor karena terbuat dari batu meteor, semua ini mengandung falsafah dan nilai0nilai kehidupan luhur sesuai dengan budaya Indonesia dan tidak mengandung mistik apapun di keris ini,” urai Toni.
Readmore »

REKACIPTA LENONG DALAM KOMBET SEBAGAI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN ZAMAN

Oleh
SYAIFUL AMRI
NPM 1206200363



PROGRAM DOKTORAL ILMU SUSASTRA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS  INDONESIA
2013
REKACIPTA LENONG DALAM KOMBET
SEBAGAI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN ZAMAN

1.    Latar belakang
Sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi pusat perkembangan modernisasi, pusat pembauran sekaligus menjadi pusat perubahan sosial. Dinamikanya begitu kompleks dan rumit. Hal ini menjadi tantangan ekstra besar bagi pelestarian budaya Betawi. Terutama bagi perkembangan seni tradisi Betawi. Dengan perubahan yang begitu cepat, otomatis akan memberi efek bagi perkembangan seni tradisi Betawi.
Seni tradisi Betawi, dipaksa atau secara alamiah akan mengikuti perkembangan zaman. Fakta menunjukkan, banyak kebudayaan Betawi yang mulai mengalami perubahan. Kebudayaan Betawi mengalami pergeseran baik dalam fungsi maupun bentuknya. Selain itu, banyak kebudayaan Betawi yang tak berdaya menghadapi zaman.
Salah satu kesenian tradisi yang keberadaannya cukup mengkhawatirkan adalah kesenian Lenong. Lenong adalah bentuk teater rakyat yang perkembangannya mengalami masa pasang surut. Pada awal tahun 1960-an, Lenong hampir punah. Kondisi yang menghawatirkan tersebut diakibatkan oleh kurang berdayanya teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman. Dapat dikatakan Lenong tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Kondisi tersebut mengundang keprihatinan beberapa seniman. Tahun 1970-an, Lenong dibangkitkan kembali oleh beberapa tokoh lenong, antara lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM. Ardan.  
Bangkitnya Lenong juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah DKI yang mulai memberikan perhatian lebih besar kepada kesenian. Menurut Yasmine Z. Shahab dalam bukunya Identitas dan otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi (2004), pemerintah pada waktu itu bersama Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), dan organisasi-organisasi Betawi lainnya, serta praktisi dan profesional seni gencar melakukan kegiatan rekacipta tradisi. Menurut pengamatan Shahab, proses rekacipta tradisi Betawi terbukti ampuh. Secara tidak sengaja, usaha pemerintah telah menghidupkan tradisi Betawi yang sedang menuju kepunahan. Orang Betawi yang pada tahun 1950-an hingga tahun 1970-an sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak ‘Tradisi Rekacipta’ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi (2004:92).
Dengan program-program rekacipta, grup-grup lenong mulai menggeliat. Lenong bahkan tak hanya dipentaskan di tengah-tengah masyarakat dalam hajatan penduduk, tetapi juga mulai dipentaskan di gedung pertunjukan seperti di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain itu lenong juga disiarkan di TVRI dan radio siaran swasta.
Bangkitnya Lenong yang diprakarsai oleh proses rekacipta disertai pula dengan beberapa perubahan format Lenong. Perubahan tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi agar lenong kembali diterima masyarakat. Menurut Shahab, untuk mempopulerkan Lenong, seniman harus menekankan aspek humor, beladiri (pencak silat), yaitu dua karakteristik tipikal lenong, memperpendek waktu pertunjukan, serta menyiapkan penduduk Jakarta yang bukan orang Betawi untuk mengenal dan dapat menikmati Lenong (2004:37).
Istilah rekacipta diketengahkan Shahab merujuk pada buku The Invention of Tradition (2000) yang dieditori E. Hobsbawm dan Terence Ranger. Menurut Hobsbawm proses rekacipta tradisi telah terjadi sejak abad 18 di banyak tempat di dunia. Shahab melihat bahwa apa yang ditulis dalam buku The Invention of Tradition sesuai dengan konteks masyarakat Betawi. Orang Betawi yang pada tahun 1950-an hingga tahun 1970-an yang sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak ‘Tradisi Rekacipta’ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi (2004:92).
Proses rekacipta berarti menginginkan perubahan yang disengaja. Menurut Shahab perubahan dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu perubahan dalam penampilan seni; perubahan dalam fungsi seni; perubahan dalam pemilik seni; dan perubahan dalam konsumen seni (2004:100). Proses rekacipta tersebut adalah manifestasi dari stratategi adaptasi dari Lenong dalam merespon perubahan zaman.
Dalam buku Ninuk Kleden yang berjudul Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik (1996) diulas mengenai perkembangan Lenong. Menurut Ninuk Kleden, ciri Lenong sebagai teater tradisional kini semakin pudar dan selanjutnya semakin kehilangan karakter tradisionalnya. Kecenderungannya semakin bersifat populer (pop culture). Teater Lenong Betawi semakin lama semakin surut tergerus kesenian-kesenian baru. Oleh karena itu agar tetap bertahan, perlu adanya terobosan-terobosan baru misal dengan mempersingkat durasi waktu pertunjukan, tata busana dan tata rias diperbarui, memperluas lokasi pentas misal masuk televisi dan lain-lain.
Fenomena Lenong yang semakin populer itu terlihat dengan munculnya Lenong Bocah dan Lenong Rumpi di stasiun Televisi. Kedua jenis Lenong tersebut merupakan modifikasi lenong. Meskipun menuai banyak kritik, namun kehadiran keduanya memberi angin segar bagi seniman Lenong untuk dapat tampil di Televisi.
Menurut Shahab, kebudayaan Betawi tidak akan punah karena saat ini orang Betawi sudah sangat sadar akan identitasnya. Budaya Betawi tidak akan hilang tapi yang pasti berubah, muncul dengan wajah baru tapi tidak menghilangkan yang asli. Lenong yang merupakan kesenian Betawi  saat ini muncul dengan wajah baru, tapi yang asli tetap ada. Meskipun berubah, Lenong tetap ada dan orang pasti akan menggali lagi kesenian Lenong yang asli. Yasmine menyebutkan, budaya Betawi sangat dinamis dan berubah lebih cepat dibandingkan kebudayaan lain karena posisinya berada di Jakarta, pusat pemerintahan dan berbaurnya berbagai suku serta budaya.
Herdiyani dalam bukunya Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan (2003:140) menyatakan bahwa sebuah kesenian yang hidup di masyarakat akan terus bergulir sejalan dengan arus perkembangan masyarakatnya. Bentuk-bentuk kesenian yang masih relevan dengan zamannya di masyarakat akan tetap hidup dengan berbagai penyesuaian, sedangkan bentuk kesenian yang tidak relevan lagi dengan massanya bisa jadi akan hilang ditelan zaman.
Salah seorang pemikir Marxis, Raymond William membahas tentang hubungan kebudayaan dengan perubahan sosial. Dalam buku Marxism and Lieratrue (1977, Raymond William mengulas konsep kebudayaan yang dominant, residual, dan emergent (121-127) yaitu konsep tentang bagaimana kebudayaan beroperasi di tengah laju perubahan sosial.  Masing-masing kebudayaan berusaha menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam menghadapi pandangan yang selalu berubah. Ada yang tampil sebagai kebudayaan dominan, ada yang ditinggalkan atau hanya menjadi peninggalan masa lalu dan ada kebudayaan yang baru.
Menurut Williams (1977) Kebudayaan dominan adalah kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok kuasa. Kecenderungan kebudayaan dominan adalah meminggirkan kebudayaan lainnya. Sedangkan kebudayaan residual-dalam hal ini salah satunya kesenian tradisional- dapat menjadi kebudayaan dominan bila ditafsir dan direkayasa disesuaikan dengan kebutuhan zaman sehingga terbentuk kebudayaan yang baru. Dari konsep tersebut, dapat dikatakan bahwa seni tradisi bisa saja terpinggirkan bila tidak disentuh beberapa perubahan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan, menurut Herdiani (2003:43) dikatakan bahwa perubahan yang terjadi karena kemajuan, yaitu adanya kemajuan fisik, pikiran, etika dan politik, berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam meningkatnya suatu kemajuan manusia adalah rasa bosan. Ketika manusia mencapai kebosanan dalam suatu aktivitas, sudah barang tentu manusia itu akan berusaha untuk mencari atau menciptakan suasana baru.
    Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tergerak untuk meneliti perubahan-perubahan yang terjadi pada teater Lenong. Perubahan-perubahan tersebut terjadi secara alamiah dan direkacipta. Dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses rekacipta. Salah satu perubahan yang dimaksud adalah munculnya pertunjukan Komedi Betawi (Kombet) yang mengadaptasi teater Lenong. Pertunjukan Kombet diciptakan secara sengaja oleh Yayasan Komedi Betawi sejak tahun 1998. Dalam konsep pertunjukannya, Kombet mencoba memadukan unsur-unsur modern dan tradisi yang ada dalam teater Lenong. Di dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan perubahan konsep dari teater Lenong menjadi Kombet, penyebab terjadinya perubahan dan proses rekacipta dari Lenong menjadi Kombet.
1.1.     Lenong sebagai Tradisi Lisan
Ninuk Kleden (1996) menyatakan bahwa lenong termasuk seni pertunjukan rakyat atau teater rakyat yang bersifat tradisional dalam arti keberadaannya telah beberapa turunan. Lenong juga tidak diketahui siapa penciptanya (anonim) karena ia sudah menjadi milik kolektif yakni masyarakat Betawi.
Menurut Ninuk Teater Lenong Betawi sebagai suatu pertunjukan mempunyai beberapa ciri khusus (yang tidak mustahil mengalami perubahan) antara lain:
1.    Perlengkapan pokok teater berupa panggung, dekor, sebuah meja dan beberapa kursi
2.    Pakaian pemain menggambarkan pakaian yang dipakai sehari-hari oleh komunitas teater tersebut
3.    Dialog menggunakan bahasa Melayu-Betawi
4.    Pertunjukan diiringi oleh musik gambang kromong
5.    Pertunjukan mengandung humor dan bersifat improvisasi
6.    Waktu pertunjukan dimulai setelah sembahyang isya dan diakhiri menjelang subuh
7.    Pertunjukan diselenggarakan karena suatu pesta hajat tertentu
8.    Penonton berdiri menonton sekitar panggung
9.    Tidak mengenal skenario secara mendetail
10.    Kegiatan teater lenong selalu menyangkut kegiatan sosial lainnya (1996:3)
Sebagai sebuah tradisi, dalam teater Lenong dikenal juga beberapa ritual atau kepercayaan yang dijalankan baik oleh para pemainnya maupun penyelenggara hajat. Dalam catatan Ninuk (1996), bentuk kepercayaan tersebut meliputi: Suguhan untuk perabot Lenong, Ngukup atau sajian doa-doa untuk kesuksesan, dan Susuk untuk ronggeng.
Dari karakteristik tersebut, teater Lenong termasuk ke dalam jenis tradisi lisan. Lenong memenuhi unsur tradisi dan kelisanan. Sebagai tradisi, Lenong adalah kesenian yang berkembang dan diwariskan turun temurun. Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi (2004) menyatakan bahwa sebuah tradisi adalah segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih melihat manfaat dan masih menyukainya. Tradisi sebagai milik masyarakat dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Sebagai tradisi lisan, Lenong memiliki karakteristik sebagaimana yang disebutkan oleh Pudentia (2000), bahwa dalam tradisi lisan, unsur kelisanan memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan penutur dalam mengingat tradisi menjadi perhatian penting. Kelisanan dalam teater Lenong terlihat dari dominannya para aktor membangun dialog secara spontan dan berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Spontanitas dalam tradisi lisan disebutkan oleh Albert Bate Lord dalam tulisannya yang berjudul “Characteristics of Orality”  dalam jurnal Oral Tradition, 2/1 (1987): 54-72 bahwa karakteristik kelisanan salah satunya spontanitas. Menurut Lord, proses penciptaan puisi lisan berlangsung pada saat pertunjukan.
    Salah satu definisi yang menggabungkan antara kelisanan dan generasi adalah Jan Vansina. Dalam buku Oral Tradition as History (1985) Vansina menyebutkan bahwa tradisi lisan adalah pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini di mana pesan itu disampaikan melalui pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Selain itu tradisi lisan harus disampaikan secara lisan sekurang-kurangnya sejarak satu generasi. (17-18). Dari semua definisi si atas, dapat dikatakan bahwa Lenong termasuk ke dalam tradisi lisan.
1.2.     Memadukan Unsur Modern dalam Tradisi
  Istilah modernisasi lahir di negara Barat. Wacana modernisasi berkaitan erat dengan wacana pembangunan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Tokoh-tokoh pemrakarsa teori modernisasi adalah  Max Webber, W. Rostow, dll. Teori modernisasi adalah sebuah transformasi dari bentuk tradisional ke bentuk modern. Bentuk tradisi identik dengan negara-negara dunia ketiga sedangkan modern adalah negara barat. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi dsb
Modernisasi ini tak hanya bergerak di wilayah ekonomi. Perubahan sosial juga menandakan perubahan di lapangan kebudayaan. Budaya sebagai produk kehidupan masyarakat senantiasa mengiringi perubahan sosial di sektor lainnya. Dalam dunia kesenian Indonesia yang memiliki karakteristik tradisional, kini telah lahir dan berkembang berbagai kesenian berkarakter modern. Dua bentuk tersebut hidup berdampingan. Namun dengan karakter yang berbeda, kerap kali terjadi gesekan antara keduanya. Seni tradisi pada akhirnya harus rela dikalahkan seni modern karena zaman mencerminkan modernisme itu sendiri.
  Sebagaimana telah dijelaskan di atas, teater lenong sebagai seni yang bersifat tradisional, keberadaanya mulai mengkhawatirkan. Kondisi tersebut mengundang rasa prihatin beberapa seniman Betawi. Pada tahun 1998, beberapa seniman Betawi, termasuk peneliti membentuk Komedi Betawi (Kombet) sebagai respon atas kondisi Lenong. Para seniman melihat bahwa Lenong tak berdaya menghadapi perubahan zaman. Oleh karena itu para penggagas Kombet merasa perlu untuk melakukan perubahan-perubahan. Pada tahun 2009, Kombet berusaha mengubah format tampilannya sekaligus melegalkan diri menjadi sebuah yayasan bernama Yayasan Komedi Betawi seiring dikeluarkannya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 8 Tanggal 21 April 2010.
   Kombet merupakan salah satu kelompok seni pertunjukan yang menggunakan keragaman dialek Betawi. Kehadiran Kombet merupakan sebuah tafsir terhadap tradisi Lenong dan sebuah upaya adaptasi terhadap zaman.  Kombet merupakan sebuah transformasi dan inovasi dari seni pertunjukan Lenong. Atau dengan kata lain, seni pertunjukan Komedi Betawi yang dipimpin peneliti ini mencoba hadir dengan  semangat  teater rakyat Betawi  yang hidup dalam konteks dan situasi  jamannya. Yang menarik dari  kelompok ini adalah kemampuan adaptasi antar personil yang  memiliki dua latar belakang disiplin yang berbeda. Sebagian  para pemain Kombet (aktor) tumbuh dari latar belakang disiplin teater modern. Sebagian lainnya dengan latar belakang disiplin seni tradisi  Betawi, yaitu Lenong dan Topeng Betawi.  
  Peneliti bersama seniman teater modern menilai bahwa Lenong harus berubah. Menjadi sebuah tradisi yang tak lekang zaman. Tradisi yang Eksistensinya kekal meski zaman terus bergerak. Untuk mewujudkan bentuk tersebut, peneliti selaku  sutradara dan pimpinan grup Kombet, yang  memiliki latar belakang pendidikan formal seni pertunjukan teater modern mencoba memasukkan unsur-unsur modern ke dalam struktur Lenong. Namun demikian, Peneliti tetap menjaga nilai-nilai tradisi dalam pertunjukan Kombet yang dibuatnya.
  Pertemuan dari dua latar belakang disiplin yang berbeda dalam sebuah kerja kreatif memang bukanlah  sesuatu yang serta merta mudah  untuk dijalani. Kesediaan untuk saling belajar dan memberi  kadang sering terhambat  oleh rasa ego  yang tidak mudah untuk dicairkan dengan seketika. Dalam hal inilah Kombet berusaha untuk menjinakan ketegangan antara ego yang mempertahankan kebiasaan lama, dan  ke-egoan dengan cara pandang inovatif.             
  Kedua kelompok antara tradisi dan modern ini memiki perbedaan dalam cara pandang. Namun mereka disatukan oleh komitmen bersama untuk memajukan kesenian tradisional Betawi ini. Kelompok modern ingin memasukkan unsur-unsur teater atau pertunjukan modern, sementara kelompok tradisi ingin mempertahankan tradisi. Sesungguhnya, pandangan kedua kelompok ini tidak sama sekali bertolak belakang karena komitmen bersama dan interaksi mereka terus melakukan negosiasi untuk mencari bentuk yang bisa diterima secara bersama.
             Kesenian Lenong memiliki struktur yang tercermin dari seni musiknya, seni sastra dan teaternya, serta seni bela diri dan tarinya, dan lain-lain. Keseluruhan unsur tersebut sekaligus dapat dijadikan sebagai sumber daya (resources) untuk merekonstruksi struktur Lenong. Reproduksi struktur tersebut salah satunya ditunjukkan melalui perubahan kesenian Lenong  sesuai dengan intensi para pelakunya yang ingin mempertahankan kesenian Lenong yang harus berkompetisi dengan jenis kesenian lainnya. Proses perubahan ini dapat dimulai dari bagaimana tradisi beradaptasi. Untuk membuat tradisi bertahan dan sekaligus lebih menarik, adaptasi perlu dilakukan di sana-sini. Namun, adaptasi tidak dapat dilakukan dengan radikal karena akan meghilangkan esensi atau identitas dari tradisi itu sendiri. Di sini terjadi perimbangan antara kebutuhan beradaptasi dan kebutuhan untuk menjaga identitas tradisi. Berdasarkan uraian di atas dapat pula dilihat bahwa semakin dipertahankan, kesenian Lenong semakin menunjukkan perubahan dalam strukturnya.
    Kehadiran Kombet dapat dikatakan sebagai upaya rekacipta atas tradisi Lenong. Rekacipta tersebut dapat tercapai karena adanya upaya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam teori strukturasi Anthony Giddens, pihak-pihak tersebut disebut agen. Menurut Giddens (2010) dalam buku Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (2010), teori strukturasi berupaya mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan (agen). Giddens melihat ada perdebatan antara strukturaslime dan obyektivisme. Teori ini menjadi penengah antara strukturalisme dan subyektivisme. Strukturalisme yang menekankan pada dominasi peran struktur di dalam kehidupan sosial dan menjadi kekuatan sosial yang mampu mencengkram dan mengendalikan individu-individu secara penuh. Sedangkan subyektivisme lebih menekankan pada peran dan tindakan individu aktif sebagai faktor dominan dalam suatu tatanan kehidupan sosial, karena individu bertindak sebagai agen. Padahal menurut Giddens, antara agen dan struktur  memiliki peran yang sama dan penting di dalam masyarakat.
Teori strukturasi sendiri menjelaskan konsep tentang individu yang dikatakan sebagai aktor (agency) yang memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya (resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sosial.
    Kehadiran Kombet merupakan sebuah adaptasi tradisi Lenong dalam menghadapi zaman. Kombet hadir dengan inspirasi nilai-nilai tradisi Betawi yang terdapat dalam Lenong. Perpaduan konsep tradisi dan modern tersebut diharapkan menjadi sebuah solusi agar tradisi mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan zaman.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha melanjutkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain terutama penelitian Ninuk Kleden mengenai Lenong dang Yasmine Z. Shahab mengenai rekacipta tradisi.

2.    Masalah Penelitian
  Sebagaimana telah dijelaskan di atas. Lenong sebagai teater tradisional mengalami berbagai hambatan dalam menghadapi perubahan zaman. Berdasarkan kondisi tersebut, banyak seniman yang melakukan upaya-upaya perubahan konsep atau format Lenong menjadi Lenong baru yang lebih diterima zaman. Perubahan tersebut merupakan manifestasi dari strategi adaptasi dalam menghadapi zaman. Salah satu bentuk baru yang dibuat sebagai pembaharuan teater Lenong adalah pertunjukan Komedi Betawi (Kombet). Kombet berupaya memadukan unsur modern dan tradisi yang selama ini sulit dipersatukan. Kombet tidak mengubah lenong sepenuhnya. Justru Kombet ingin mempertahankan nilai tradisi tetapi melalui kemasan modern.
  Namun demikian, kehadiran Kombet memunculkan banyak pertanyaan. Terutama dalam hal kedudukan Kombet sebagai sebuah tradisi lisan atau seni pertunjukkan modern. Pertanyaan tersebut lahir karena dalam Kombet, digunakan skenario atau cerita tertulis. Suatu hal yang jarang digunakan dalam lenong. Selain itu, beberapa fungsi dan aspek ritual yang ada dalam tradisi tentu saja tidak akan digunakan dalam seni modern termasuk Kombet. Akhirnya peneliti memandang bahwa proses adaptasi bagaimanapun akan melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan. Peneliti ingin mengkaji sejauhmana Lenong beradaptasi dengan zaman, bagaimana proses adaptasi tersebut berlangsung dan bagaimana bentuk produk yang dihasilkan dari upaya adaptasi tersebut.
  Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1.    Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh Teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman ?
2.    Bagaimanakah proses terbentuknya Seni Pertunjukan Kombet sebagai bentuk rekacipta Teater Lenong ?
3.    Gejala transformasi kebudayaan apa yang terungkap dari adaptasi teater Lenong ke dalam Seni Pertunjukan Kombet?

3.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam proses adaptasi dari sebuah tradisi teater Lenong terhadap perubahan zaman. Bagi peneliti yang terlibat dalam tradisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk meyakinkan peneliti tentang sejauhmana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan tradisi agar tak mati ditelan zaman.
1.    Menyajikan deskripsi mengenai kondisi teater Lenong pada masa kini.
2.    Menjelaskan proses adaptasi yang dilakukan oleh Teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman.
3.    Menjelaskan bentuk strategi adaptasi tradisi Lenong agar dapat bertahan mengikuti zaman dengan kendala metodologis yang dihadapi seorang peneliti.
4.    Mengungkapkan suatu gejala transformasi kebudayaan yang melibatkan tradisi dan modernitas menuju ke satu model perubahan.

4.    Korpus Penelitian
Korpus penelitian ini terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah sanggar lenong dengan karakter tradisi yang meliputi Sinar Subur, Setia Kawan (objek penelitian Ninuk Kleden) dan Sinorai. Kategori kedua adalah sanggar lenong dengan karakter baru (Kombet), meliputi Opelet Robert, Sanggar si Pitung dan Sanggar Kombet.
Kategori di atas tidaklah terlalu ketat. Dalam pengertian sistem keanggotaan sanggar-sanggar di atas bersifat lebih fleksibel. Seorang seniman lenong bisa bermain dan bergabung satu sama lain. Terutama untuk kategori kedua, salah satu karakteristik dari sanggar Kombet adalah penyatuan sejumlah seniman lenong dari berbagai sanggar dengan seniman teater modern dan film/sinetron. Meskipun demikian, adanya sanggar menunjukkan adanya wujud organisasi tersendiri. Sehingga untuk keperluan korpus, sanggar tersebut masih dapat diteliti. Selain itu, korpus penelitian juga mencakup para senimannya.

5.    Sumber Data
Sumber data dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berasal dari sumber pertama atau sumber aslinya. Data primer biasanya diperoleh dengan observasi lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original atau data yang telah direkam dalam bentuk lain tanpa ada proses penyuntingan yang mengubah substansi. Data primer dalam penelitian ini adalah berupa rekaman audio visual pertunjukan, dan transkripsi naskah dalam pertunjukan (lakon) yang sejatinya tidak ada dalam lenong.
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Peneliti dapat mencari data sekunder ini melalui sumber data sekunder. Data sekunder dapat diperoleh di perpustakaan, perusahaan surat kabar atau majalah, internet organisasi-organisasi kebudayaan, biro pusat statistik, dan kantor-kantor pemerintah. Dalam penelitian ini data sekunder yang dimaksud adalah berupa teks-teks mengenai lenong dan perubahan-perubahannya. Data tersebut dapat diperoleh dari buku, artikel, makalah, atau berita baik cetak maupun elektronik (virtual) dari internet. Buku Ninuk Kleden dan data sekunder juga diperoleh melalui observasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada serta wawancara baik langsung maupun tidak langsung dengan para panjak (seniman lenong), pihak pemerintah (dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta), lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan Betawi, para pengamat kebudayaan Betawi, pelaku teater modern, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan proses rekacipta.

6.    Tinjauan Pustaka
Pada tinjauan pustaka ini, peneliti menjabarkan beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan Lenong, tradisi lisan, proses rekacipta tradisi, teori adaptasi, dan transformasi. Penelitian mengenai teater Lenong sudah banyak dilakukan baik oleh mahasiswa S1, S2, maupun S3. Akan tetapi tidak banyak hasil penelitian yang terpublikasikan dengan baik sehingga dapat dibaca oleh publik. Salah satu penelitian mengenai Lenong yang akan dijadikan sumber tinjauan pustaka oleh penulis adalah penelitian Ninuk Kleden mengenai Lenong yang dibukukan dengan judul Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik (1996).
Penjelasan mengenai proses rekacipta tradisi banyak diulas oleh beberapa ahli. Istilah rekacipta hanyalah sebuah istilah lain yang digunakan untuk mewakili segala kreasi atau upaya pengubahan sebuah tradisi  ke dalam bentuk baru. Istilah ini digunakan oleh Yasmine Z. Shahab, seorang antropolog Universitas Indonesia.  
Penjelasan mengenai teori adaptasi, peneliti akan menggunakan referensi dari buku Linda Hutcheon yang berjudul A Theory of Adaptation (2000). Sedangkan referensi mengenai transformasi, penulis akan menggunakan penelitian Pudentia MPSS yang berjudul Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992).
6.1. Buku Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik karya Ninuk            Kleden Probonegoro
Dalam buku Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik (1996), Ninuk Kleden meneliti perkembangan teater Lenong pada tahun 1970-an sampai tahun 1990-an. Ninuk meneliti dua sanggar teater Lenong yang Sinar Subur dan Setia Kawan. Dalam penelitiannya, Ninuk menggunakan metode etnografi dengan menggunakan studi perbandingan diakronis. Yaitu penelitian yang mencoba merekam perkembangan dari masa ke masa. Dapat dikatakan, data-data yang disajikan Ninuk cukup lengkap. Begitupun dengan hasil pengamatan dan analisisnya.  Satu hal yang belum Ninuk sampaikan adalah amatannya mengenai perubahan di tataran struktur dan tata pemanggungan seperti penggunaan kostum, tata musik, artistik, properti, tata lampu, dll.
Penelitian Ninuk tersebut dapat dijadikan contoh bagi peneliti dalam meneliti lenong dengan menggunakan etnografi dengan cara diakronis. Khusus untuk penelitian yang akan dilakukan, peneliti lebih menyoroti berbagai perubahan terkait struktur dan tata pementasan. Sehingga dapat melengkapi penelitian Ninuk sebelumnya.
6.2. Buku Identitas Dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi (2004) karya Yasmine Z Shahab
            Yasmine Z Shahab memaparkan proses rekacipta tradisi yang dilakukan di DKI Jakarta pada tahun 80-an. Dalam bukunya yang merupakan kumpulan esai dan penelitian tersebut, Shahab menjadikan konteks dari tradisi sebagai bahasan penelitian. Konteks yang dimaksud adalah masyarakat Betawi dan pemilik otoritas Betawi seperti pemerintah dan lembaga kebetawian. Dengan observasi langsung ke lapangan, Shahab menemukan banyak data mengenai masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi . Di antaranya tentang kesadaran orang Betawi terhadap identitas dan eksistensinya di Jakarta yang masih inferior. Padahal masyarakat Betawi notabene penghuni asli kota Jakarta. Shahab pun meneneliti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga kebetawian yang dikategorikan sebagai program rekacipta. Shahab melihat bahwa ada hasil yang memuaskan dari program tersebut, karena mampu mengangkat eksistensi masyarakat Betawi.
Sama seperti Ninuk, Shahab juga belum mengetengahkan pembahasan rekacipta secara detil, terutama mengenai beberapa aspek teknis perubahan yang terjadi dalam Lenong. Bagaimana proses perubahan tersebut dipandang sebagai proses kreatif dan proses produktif seorang senimannya. Atas beberapa kekurangan tersebut, peneliti akan berusaha melanjutkan dan melengkapi penelitian sebelumnya.
6.3 Buku Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992) karya Pudentia, MPSS
Pudentia MPSS dalam penelitiannya yang berjudul Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992) menguraikan konsep transformasi dan penerapannya pada cerita Lutung Kasarung. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses transformasi dari cerita Lutung Kasarung yang ditulis oleh Pleyte ke dalam bentuk karangan Ajip Rosidi.
Transformasi kesastraan teks Lutung Kasarung diteliti oleh Pudentia dengan menggunakan teori hubungan intertekstual. Telaah hubungan antarteks ini mengacu pada teori Riffaterre dan teori terapan yang digunakan oleh Partini Sardjono Pardotokusumo atas karya sastra Kakawin Gajah Mada (1986). Ada empat teori penerapan hipogram yakni ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp.
Konsep Transformasi ini digunakan untuk membandingkan teks (naskah). Dalam penelitian ini, konsep transformasi akan digunakan untuk membandingkan struktur pertunjukan antara Lenong dan Kombet.   

7. Landasan Teori
7.1. Tradisi Lisan
Penjelasan mengenai Tradisi lisan (oral tradition), telah diuraikan dalam banyak buku. Tokoh-tokoh pemikir tradisi lisan yang terkenal adalah Milman Perry, Walter J. Ong, Albert Bate Lord, dan Jan Vansina.
Dalam buku Oral Tradition as History (1985), Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan tersebut disampaikan melalui kelisanan berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Selain itu syarat bahwa sebuah sesuatu dikatan tradisi adalah bahwa proses penyampaian dan pewarisannya telah dilakukan sekurang-kurangnya sejarak satu generasi. (1985:17-18).
Dalam buku tersebut, Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis.
Tradisi secara sederhana diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.
Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi (2004) menyatakan bahwa sebuah tradisi adalah segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih melihat manfaat dan masih menyukainya. Tradisi sebagai milik masyarakat dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Pudentia (2000), mengungkapkan bahwa dalam tradisi lisan, unsur kelisanan memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan penutur dalam mengingat tradisi menjadi perhatian penting. Kelisanan dalam teater Lenong terlihat dari dominannya para aktor membangun dialog secara spontan dan berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Spontanitas dalam tradisi lisan disebutkan oleh Albert Bate Lord dalam tulisannya yang berjudul “Characteristics of Orality”  dalam jurnal Oral Tradition, 2/1 (1987): 54-72 bahwa karakteristik kelisanan salah satunya spontanitas. Menurut Lord, proses penciptaan puisi lisan berlangsung pada saat pertunjukan.
Walter J. Ong dalam buku Orality and Literacy (New Accent, 2002) menyebutkan beberapa karakteristik kelisanan. Ong menyebutnya dengan istilah budaya lisan primer. Karakteristik tersebut yaitu:
1.    Expression is additive rather than subordinative.
2.    It is aggregative rather than analytic.
3.    It tends to be redundant or "copious."
4.    There is a tendency for it to be conservative.
5.    Out of necessity, thought is conceptualized and then expressed with relatively close   reference to the human lifeworld.
6.    Expression is agonistically toned.
7.    It is empathetic and participatory rather than objectively distanced.
8.    It is Homeostatic.
9.    It is situational rather than abstract. (2002:36-56)
Semua karakteristik di atas dapat meningkatkan memorability ucapan. Ong menjelaskan bahwa akan menjadi sangat penting bagi mereka yang mencoba untuk menghafal sebuah puisi atau dongeng karena, sedangkan masyarakat literer selalu dapat merujuk kembali ke teks tertulis. Masyarakat lisan harus dapat memproses dan menghafal, informasi yang disampaikan dapat berubah, diperbaiki sesuai kebutuhan dan apa yang ada dalam ingatan. Ong menjelaskan bahwa antara dunia kelisanan dan keberaksaraan adalah saling melengkapi. Tidak ada yang lebih unggul di antara keduanya.
7.2. Rekacipta Tradisi
Yasmine Z Shahab (2004) mengetengahkan istilah Rekacipta. Istilah ini digunakan untuk menandai program-program yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga kebetawian dalam upayanya menghidupkan kembali seni tradisi Betawi yang hampir punah. Shahab memaparkan beberapa poin mengenai identitas masyarakat Betawi dan berbagai proses rekacipta tradisi Betawi. Shahab memandang bahwa posisi orang Betawi ternyata tidaklah dominan di Jakarta. Namun demikian, Shahab mengamati bahwa ada gejala yang kuat akan kebangkitan kembali orang Betawi, yang tengah menggeliat menemukan kembali identitas “kebetawiannya“.
Istilah rekacipta yang disebut oleh Shahab mengacu pada istilah invention yang tulis dalam buku The Invention of Tradition (2000) yang dieditori olej Eric Hobsbawn dan Terence Ranger. Buku tersebut memuat tujuh buah esai tentang tradisi yang diciptakan di berbagai negara, daerah dan koloni, yang sebagian besar berkaitan dengan Inggris.
Dalam catatan Hobsbawn (2000) “Invention of Traditions’ menarik minat para sejarawan selama dua abad terakhir. Menurutnya, rekacipta tradisi tersebut memiliki keunikan karena rekacipta yang ada sebagian besar adalah tiruan dari tradisi lama. Lahirnya tradisi baru merupakan sebuah tanggapan terhadap situasi baru. Bentuknya mengacu pada situasi lama. Bentuk yang baru tersebut adalah hasil sebuah perubahan yang alamiah karena perubahan sosial ditambah inovasi dari dunia modern.
The peculiarity of 'invented' traditions is that the continuity with it is largely factitious. in short, they are responses to novel situations which take the form of reference to old situations, or which establish their own past by quasi-obligatory repetition. it is the contrast between the constant change and innovation of the modern world and the attempt to structure at least some parts of social life within it as unchanging and invariant, that makes the 'invention of tradition' so interesting for historians of the past two centuries. (2)
    Eric Hobsbawn (2000) menekankan bahwa tradisi yang dimaksud bukanlah sebuah ‘adat’ yang menjadi karakteristik masyarakat tradisional. Menurut Hobsbawn, “Custom cannot afford to be invariant, because even in 'traditional' societies life is not so.” (2)
Dalam tulisan Hugh Trevor-Roper (2000) yang berjudul "The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland” dijelaskan bahwa Skotlandia berusaha melestarikan warisan budaya yang dimilikinya ketika terjadi proses unifikasi dengan Inggris. Secara khusus, ia meneliti asal-usul dari Skotlandia dan mode pakaian tradisional. Proses penciptaan tersebut dengan cepat diterima dan dikuduskan oleh rakyat Skotlandia. Tradisi yang memiliki banyak identitas tersebut identik dengan pemalsuan dan fantasi. Tradisi tersebut diciptakan oleh orang-orang yang merasa perlu di mana Skotlandia untuk memiliki budaya unggul di Kepulauan Inggris saat ini.
Menurut Hobsbawn (2000) rekacipta tradisi memiliki tiga fungsi yakni membentuk ikatan sosial di antara para anggotanya, meligitimasi status dan otoritas, dan proses konvensi nilai dan perilaku. Ketiga fungsi tersebut jelas terlihat dalam beberapa proses rekacipta yang terjadi di berbagai wilayah yang berhubungan dengan kolonialisme Inggris.
Dalam esai Eric Hobsbawn sebagai penutup buku ini (2000) Hobsbawm menghubungkan penemuan tradisi dengan fenomena abad ke-19 dan ke-20 di mana terjadi fase terbentuknya Negara dan nasionalisme. Ia menemukan bahwa tradisi yang diciptakan secara signifikan di hampir setiap negara dalam periode tersebut, memang untuk melegitimasi kelahiran dan kekuasaan.
7.3. Teori Adaptasi
Kajian mengenai Teori Adaptasi ditulis oleh Linda Hutcheon dalam buku A theory of Adaptation (2006). Menurut Hutcheon (2006) adaptasi adalah kegiatan sekunder setelah yang kegiatan aslinya. Hutcheon menyebutkan:
“When we call a work an adaptation, we openly announce its overt relationship to another work or works” (6).  
Adaptasi bersifat universal dan dapat diulang-ulang dengan berbagai variasi yang dilakukan terus-menerus. Dengan pengulangan tersebut Hutcheon percaya bahwa karya adapatasi mampu menarik minat karena karya yang disajikan terkenal. Menurut Hutcheon (2006) ada banyak bentuk adaptasi dan masing-masing produsen akan mengadaptasi sebuah teks asli dengan cara mereka sendiri yang unik.
“They use the same tools that storytellers have always used; they actualize or concretize ideas; they make simplifying selections, but also amplify and extrapolate, they make analogies; they critique or show their respect, and so on” (3)
Produsen dapat mengubah cerita agar sesuai dengan genre baru atau melakukan twist baru yang akan membuat penonton tertarik. Menurut Hutcheon (2006) ada unsur-unsur yang harus disesuaikan dalam adaptasi. Misalnya, masalah tema. Tema yang diangkat haruslah tema-tema yang mudah diadaptasi di genre yang berbeda. Karakter dalam cerita mudah dibawa sesuai karya aslinya, sedangkan pada bagian ending bisa berubah.
Hal penting  lain adalah bahwa seorang adaptor haruslah sebagai penafsir pertama yang kemudian menjadi pencipta (2006:16). Jadi, adaptor harus melakukan tafsir yang mendalam untuk kemudian membuat tafsiran baru dalam karya yang akan dibuatnya.


7.4    Transformasi
Konsep transformasi digunakan oleh Pudentia MPSS (1992) dalam meneliti teks Lutung Kasarung. Penelitian tersebut menggunakan teori penerapan hipogram sebagai naskah asal. Teori penerapan hipogram itu adalah:
7.4.1 Ekpansi.
Menurut Riffaterre (1978) ekspansi adalah “expantion transform the  constituets of the matrix sentence into more complex form” (47-48). Dari pengertian tersebut perubahan menjadi poin penting. Menurut Pudentia (1992:72) dalam hasil analisisnya terhadap Lutung Kasarung, ekspansi juga dapat berarti penambahan terhadap unsur semula yang asalnya tidak ada.
7.4.2 Konversi
Menurut Riffatere (1978) Konversi dinyatakan sebagai berikut:
Conversion transforms the constituents of the matrix sentence by modifying them all with the  same factor (63). Yang bila diteterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti konversi mengubah unsur-unsur kalimat matriks dengan memodifikasinya dengan sejumlah faktor yang sama.
Proses konversi ini digunakan Riffaterre hanya pada tataran morfologi dan fonologi. Menurut Riffatere (1978) konversi lebih ditujukan ketika transformasi meliputi tataran morfologi dan fonetik, seperti paronomasia dan anapora, tetapi ini tidak mengacu satu kejadian tertentu saja.
Pudentia (1992:72) menyatakan “Pada analisis Latung Kasarung penerapan konversi menurut batasan-batasan tersebut perlu ditinjau ulang, karena Latung Kasarung merupakan karya saduran dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia.  Dalam karya semacam ini, ekspansi tampak lebih berperan.
7.4.3 Modifikasi dan Ekserp
Pudentia menyatakan, Modifikasi merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat pada tataran kesastraan, yaitu manipulasi tokoh protagonis atau alur sehubungan dengan kenyataan bahwa Lutung Kasarung merupakan karya saduran sekaligus karya terjemahan dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Manipulasi pada tataran linguistik perlu memperhatikan masalah semantik dan sekaligus juga masalah estetika bahasa. Sedangkan pada tataran kesastraan, selain dipengaruhi oleh tuntutan zaman dipengaruhi pula oleh adanya perubahan tokoh wanita dari sekedar tokoh pendamping menjadi tokoh utama (Pudentia,1992:72)
Menurut Pudentia, ekserp diartikan semacam intisari suatu unsur atau episode dari  hipogram (1992:73).
Pada intinya menurut Pudentia, konsep transformasi terbagi menjadi dua bentuk yaitu transformasi lintas-budaya dan lintas bentuk. Transformasi lintas budaya dimaksudkan sebagai perubahan yang berorientasi pada dua budaya yang berbeda, sedangkan transformasi lintas bentuk dimaksudkan sebagai perubahan antarbentuk atau dari satu bentuk ke bentuk lain.

8. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Etnografi yang dipadukan dengan cara penulisan Autobiografi atau dikenal juga dengan istilah otoetnografi telah banyak dibahas dan digunakan oleh peneliti. Arthur P. Bochner dan Carolyn Ellis menulis buku yang berjudul Ethnographically Speaking, Autoethnography, Literature and Aesthetics (2002).
Ellis & Bochner (2002) mendefinisikan otoetnografi sebagai “autobiographies that self-consciously explore the interplay of the introspective, personally engaged self with cultural descriptions mediated through language, history, and ethnographic explanation”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa otoetnografi adalah model penelitian etnografi yang mengungkap keterlibatan peneliti dalam objek budaya yang ditelitinya. Keterlibatan tersebut misalnya saat seorang peneliti menjadi pelaku budaya yang ditelitinya. Pengamatan mereka "yang menghubungkan pribadi dengan budaya" adalah karakter penting dari otoetnografi.
Menurut Carolyin Ellis sebagaimana dikutip oleh Semiarto A Purwanto (2011) pengalaman pribadi peneliti dapat menjadi bagian dari data etnografi yang ditulis, meskipun hal itu dialaminya pada saat yang berbeda dengan fieldwork yang dia lakukan. Eliis & Bochner (2002) mensyaratkan berbagai kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang peneliti otoetnografi. Kemampuan tersebut adalah: memiliki pengetahuan yang luas untuk dapat diceritakan pada orang lain, memiliki kemampuan menulis yang baik, mengamati atau merecall kembali memori masa lampau, dan mengategorikannya dalam satuan makna baru.
Dengan menggunakan metode Otoetnografi, peneliti akan memulai penelitian dengan mengamati beberapa sanggar Lenong dan para panjaknya dengan persfektif etnografi. Dalam mengamati sanggar Lenong dan para panjaknya, peneliti akan menggunakan model penelitian Ninuk Kleden yang menggunakan etnografi dengan perbandingan diakronik. Peneliti menggunakan model penelitian ini dalam mengkaji perkembangan teater Lenong dikaitkan dengan perubahannya menjadi pertunjukan Kombet. Peneliti akan melakukan pengamatan mengenai perubahan-perubahan Lenong seiring perkembangan zaman, terutama sejak tahun 1990-an sampai masa kekinian.
Perubahan-perubahan yang terjadi akan dianalisis dan dikaji dengan teori rekacipta, apakah perubahan-perubahan tersebut sudah dapat digolongkan ke dalam rekacipta atau belum. Untuk mengetahui perubahan-perubahan tersebut, teori transformasi digunakan.
Setelah proses analisis dan pengkajian peneliti menuliskan laporan dengan menggunakan teknik autobiografi. Memasukkan persfektif pribadi, di mana peneliti sebagai salah satu objek yang diteliti.  

9. Langkah-langkah Penelitian
Dalam melakukan penelitian, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Pengumpulan data utama (primer), berupa rekaman audio visual pertunjukan, dan transkripsi naskah dalam pertunjukan (lakon) yang sejatinya tidak ada dalam lenong.
2.    Pengumpulan data sekunder berupa teks-teks mengenai lenong dan perubahan-perubahannya. Data tersebut dapat diperoleh dari buku, artikel, makalah, atau berita baik cetak maupun elektronik (virtual) dari internet.
3.    Pengumpulan data sekunder juga dilakukan secara etnografis dengan dilakukan pengambilan data melalui observasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada.
4.    Catatan etnografis juga didapat dari wawancara baik langsung maupun tidak langsung dengan para panjak (seniman lenong), pihak pemerintah (dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta), lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan Betawi, para pengamat kebudayaan Betawi, pelaku teater modern, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan proses rekacipta.
5.    Analisis data dilakukan dengan menelaah data primer dan sekunder, yang difokuskan pada wacana perubahan yang terjadi dalam lenong menuju bentuk-bentuk yang baru.
6.    Hasil analisis dikaitkan dengan studi pustaka, wawancara, dan observasi untuk mendapatkan pemaparan yang lebih komprehensif dan dapat menarik kesimpulan mengenai proses rekacipta Kombet sebagai wujud perubahan dari lenong.

10.  Sistematika Penulisan
    Hasil penelitian  ini akan diuraikan dalam lima bab. Dalam bab satu akan diuraikan latar belakang penelitian, yang terdiri dari uraian mengenai perkembangan Lenong di Jakarta, uraian mengenai beberapa perubahan format Lenong seiring perubahan sosial di Jakarta, uraian mengenai munculnya Kombet dan pembahasan mengenai permasalahan. Dari permasalahan yang ada, dirumuskan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, ditentukan tujuan penelitian, korpus penelitian, yaitu 6 sanggar Lenong: Sinar Subur, Setia Kawan, Sinorai, opelet Robert, Sanggar si Pitung dan Sanggar Kombet. Dari korpus tersebut diperoleh data yang dapat dijadikan sumber data penelitian. Tinjauan pustaka dan landasan teori dalam penelitian ini adalah sejumlah referensi mengenai penelitian lenong, tradisi lisan, teori adaptasi, transformasi, dan konsep rekacipta. Melalui teori-teori tersebut, akan dianalisis mengenai perubahan lenong ke dalam bentuk yang baru. Metode penelitian memaparkan langkah-langkah penelitian dan bagaimana hasil penelitian ditulis dengan teknik autobiogarfi.
Bab kedua menguraikan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini. Kerangka teori meliputi konsep tradisi lisan, rekacipta tradisi, transformasi, dan teori adaptasi.
Bab tiga menguraikan tentang konteks masyarakat Betawi. Bagaimana potret masyarakat Betawi DKI Jakarta. Bagaimana identitas masyarakat Betawi di DKI Jakarta dan relasinya dengan kehidupan sosial di Jakarta, serta bagaimana perkembangan sanggar-sanggar lenong yang diteliti di tengah gencarnya perubahan sosial di Jakarta.
Bab keempat berisi mengenai proses adaptasi dan strategi adaptasi lenong terhadap zaman. Sejauhmana sanggar-sanggar Lenong mampu mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan sosial Jakarta yang cepat. Selain itu pada bab ini akan diuraikan latar belakang berdirinya kombet sebagai bentuk rekacipta dari teater Lenong.            
Bab kelima adalah kesimpulan dan saran yang diajukan terkait hasil penelitian mengenai rekacipta Kombet ini.


Readmore »

UNINDRA Gelar Wisuda Ke 38, Semester Genap 2012 - 2013

Bertempat  di Sasono Utomo TMII, pada Sabtu (5/10), Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) kembali menggelar Wisuda Sarjana dan Pasca Sarjana, acara pelepasan mahasiswa yang telah menyelesaikan program akademik tersebut, merupakan kegiatan Wisuda yang ke XXXVIII, Semester Genap tahun Akademik 2012 – 2013, Wisudawan juga memperoleh pembekalan akhir dengan Orasi Ilmiah yang dibawakan oleh Dra Yulistiana M.Pd, dengan tema “Green Campus, Upaya Kepedulian Memerangi Pemanasan Global”.

Dalam sambutannya, Ketua UPKP/PPLP PGRI Pusat, Dr. H Sugito, M.Si, memuji jajaran Akademika Universitas Indraprasta PGRI, yang telah banyak menghasilkan Sarjana Keguruan, karena Profesi guru memiliki peran penting dalam pembangunang Negara dan bangsa, untuk menyiapkan SDM yang baik, untuk mengelola Sumber Daya Alam, sebagaimana ungkapan Bung Karno, bahwa “Guru bukanlah penghias alam, tetapi guru adalah pembentuk manusia, guru adalah pendidik rakyat kearah kejayaan dan keagungan bangsa, semua orang pandai dan patriot-patriot Negara, adalah hasil pendidikan para guru, dalam menghadapi perjuangan dan pembangunan Negara, guru harus menjadi pelopornya, guru adalah pendidik rakyat kearah kesempurnaan jiwa yang bercita-cita tinggi bagi bangsa dan Negara”,  oleh sebab itu sebagaimana tugas yang berat tersebut, Guru juga harus terus belajar, meskipun saat ini sudah menjadi Sarjana, tetapi bukan berarti berhenti belajar, tegas H Sugito.

Atas  nama Yayasan PGRI Pusat, mengucapkan terimakasih pada orang tua wisudawan yang telah mempercayakan pada Unindra, pada seluruh wisudasan yang kini sudah menjasi Sarjana dan bukan lagi mahasiswa, hendaknya dapat kembali ke masyarakat untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya, serta mampu meningkatkan kinerja bagi yang telah bekerja. Dan bagi seluruh jajaran Akademika Unindra, yang telah kerja keras dan kerjasama dalam melaksanakan tugas mendidik mahasiswa, sehingga mereka berhasil menyelesaikan studinya dan menjadi seorang Sarjana, PGRI Pusat juga mengucapkan terimakasih, karena para Wisudawan akan memiliki peran penting dalam mengisi pembangunan masyarakat dan bangsa saat ini dan dimasa depan, paparnya.

Sementara Rektor Unindra, Prof. H Sumaryoto sisela acara tersebut pada wartawan menjelaskan, bahwa wisudawan kali ini berjumlah 1.204 Wisudawan, dimana jumlah tersebut terdiri dari program Magister Pendidikan (Program Study S2) sebanyak 204 dan Sarjana S1 berjumlah 1.000 Wisudawan, mereka akan kembali ketengah masyarakat, untuk mengabdikan diri, dengan bekal ilmu yang telah mereka peroleh selama di Unindra, untuk membangun bangsa dan Negara.

Prof H Sumaryoto juga menegaskan, sebagaimana kewajiban yang tertuang dalam melengkapi saran prasarana perkuliahan, Unindra kini terus membangun fasilitas Gedung untuk perkuliahan, ruang dosen dan perpustakaan. Demikian juga dalam meningkatkan kualitas dosen, Unindra terus mendorong bagi para dosen untuk meningkatkan kegiatan penelitian ilmiah, sebagaimana yang tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi¸ tegasnya.

Dra Yulistiana M.Pd, dalam orasi ilmiahnya dengan tema “Green Campus, Upaya Kepedulian Memerangi Pemanasan Global”. Menegaskan, bahwa program Green Campus bukan sekedar hijau dengan pepohonan saja, tetapi sempai sejauh mana warga kampus mampu memanfaatkan sumber daya alam yang ada, seperti pemanfaatan air, pengelolaan sampah, penggunaan listrik, pemakaian sumber daya alam, pemakaian kertas serta bagaimana upaya kontribusi pengurangan pemanasan global, kampus sebagai lembaga/institusi yang menyelenggarakan pendidikan, pengajaran dan penelitian, harus memiliki tanggung jawab akan hal tersebut, paparnya.





Readmore »

 

SEL SURYA

SEL SURYA