REKACIPTA LENONG DALAM KOMBET SEBAGAI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN ZAMAN

Oleh
SYAIFUL AMRI
NPM 1206200363



PROGRAM DOKTORAL ILMU SUSASTRA
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
UNIVERSITAS  INDONESIA
2013
REKACIPTA LENONG DALAM KOMBET
SEBAGAI ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN ZAMAN

1.    Latar belakang
Sebagai Ibukota Negara, Jakarta menjadi pusat perkembangan modernisasi, pusat pembauran sekaligus menjadi pusat perubahan sosial. Dinamikanya begitu kompleks dan rumit. Hal ini menjadi tantangan ekstra besar bagi pelestarian budaya Betawi. Terutama bagi perkembangan seni tradisi Betawi. Dengan perubahan yang begitu cepat, otomatis akan memberi efek bagi perkembangan seni tradisi Betawi.
Seni tradisi Betawi, dipaksa atau secara alamiah akan mengikuti perkembangan zaman. Fakta menunjukkan, banyak kebudayaan Betawi yang mulai mengalami perubahan. Kebudayaan Betawi mengalami pergeseran baik dalam fungsi maupun bentuknya. Selain itu, banyak kebudayaan Betawi yang tak berdaya menghadapi zaman.
Salah satu kesenian tradisi yang keberadaannya cukup mengkhawatirkan adalah kesenian Lenong. Lenong adalah bentuk teater rakyat yang perkembangannya mengalami masa pasang surut. Pada awal tahun 1960-an, Lenong hampir punah. Kondisi yang menghawatirkan tersebut diakibatkan oleh kurang berdayanya teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman. Dapat dikatakan Lenong tidak mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Kondisi tersebut mengundang keprihatinan beberapa seniman. Tahun 1970-an, Lenong dibangkitkan kembali oleh beberapa tokoh lenong, antara lain Djaduk Djajakusuma, Sumantri Sostrosuwondo, dan SM. Ardan.  
Bangkitnya Lenong juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah DKI yang mulai memberikan perhatian lebih besar kepada kesenian. Menurut Yasmine Z. Shahab dalam bukunya Identitas dan otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi (2004), pemerintah pada waktu itu bersama Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB), dan organisasi-organisasi Betawi lainnya, serta praktisi dan profesional seni gencar melakukan kegiatan rekacipta tradisi. Menurut pengamatan Shahab, proses rekacipta tradisi Betawi terbukti ampuh. Secara tidak sengaja, usaha pemerintah telah menghidupkan tradisi Betawi yang sedang menuju kepunahan. Orang Betawi yang pada tahun 1950-an hingga tahun 1970-an sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak ‘Tradisi Rekacipta’ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi (2004:92).
Dengan program-program rekacipta, grup-grup lenong mulai menggeliat. Lenong bahkan tak hanya dipentaskan di tengah-tengah masyarakat dalam hajatan penduduk, tetapi juga mulai dipentaskan di gedung pertunjukan seperti di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain itu lenong juga disiarkan di TVRI dan radio siaran swasta.
Bangkitnya Lenong yang diprakarsai oleh proses rekacipta disertai pula dengan beberapa perubahan format Lenong. Perubahan tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi agar lenong kembali diterima masyarakat. Menurut Shahab, untuk mempopulerkan Lenong, seniman harus menekankan aspek humor, beladiri (pencak silat), yaitu dua karakteristik tipikal lenong, memperpendek waktu pertunjukan, serta menyiapkan penduduk Jakarta yang bukan orang Betawi untuk mengenal dan dapat menikmati Lenong (2004:37).
Istilah rekacipta diketengahkan Shahab merujuk pada buku The Invention of Tradition (2000) yang dieditori E. Hobsbawm dan Terence Ranger. Menurut Hobsbawm proses rekacipta tradisi telah terjadi sejak abad 18 di banyak tempat di dunia. Shahab melihat bahwa apa yang ditulis dalam buku The Invention of Tradition sesuai dengan konteks masyarakat Betawi. Orang Betawi yang pada tahun 1950-an hingga tahun 1970-an yang sedang mengalami krisis identitas, telah difasilitasi oleh banyak ‘Tradisi Rekacipta’ yang pada gilirannya telah memunculkan eksistensi Betawi (2004:92).
Proses rekacipta berarti menginginkan perubahan yang disengaja. Menurut Shahab perubahan dapat dilihat dalam beberapa bentuk, yaitu perubahan dalam penampilan seni; perubahan dalam fungsi seni; perubahan dalam pemilik seni; dan perubahan dalam konsumen seni (2004:100). Proses rekacipta tersebut adalah manifestasi dari stratategi adaptasi dari Lenong dalam merespon perubahan zaman.
Dalam buku Ninuk Kleden yang berjudul Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik (1996) diulas mengenai perkembangan Lenong. Menurut Ninuk Kleden, ciri Lenong sebagai teater tradisional kini semakin pudar dan selanjutnya semakin kehilangan karakter tradisionalnya. Kecenderungannya semakin bersifat populer (pop culture). Teater Lenong Betawi semakin lama semakin surut tergerus kesenian-kesenian baru. Oleh karena itu agar tetap bertahan, perlu adanya terobosan-terobosan baru misal dengan mempersingkat durasi waktu pertunjukan, tata busana dan tata rias diperbarui, memperluas lokasi pentas misal masuk televisi dan lain-lain.
Fenomena Lenong yang semakin populer itu terlihat dengan munculnya Lenong Bocah dan Lenong Rumpi di stasiun Televisi. Kedua jenis Lenong tersebut merupakan modifikasi lenong. Meskipun menuai banyak kritik, namun kehadiran keduanya memberi angin segar bagi seniman Lenong untuk dapat tampil di Televisi.
Menurut Shahab, kebudayaan Betawi tidak akan punah karena saat ini orang Betawi sudah sangat sadar akan identitasnya. Budaya Betawi tidak akan hilang tapi yang pasti berubah, muncul dengan wajah baru tapi tidak menghilangkan yang asli. Lenong yang merupakan kesenian Betawi  saat ini muncul dengan wajah baru, tapi yang asli tetap ada. Meskipun berubah, Lenong tetap ada dan orang pasti akan menggali lagi kesenian Lenong yang asli. Yasmine menyebutkan, budaya Betawi sangat dinamis dan berubah lebih cepat dibandingkan kebudayaan lain karena posisinya berada di Jakarta, pusat pemerintahan dan berbaurnya berbagai suku serta budaya.
Herdiyani dalam bukunya Bajidoran di Karawang: Kontinuitas dan Perubahan (2003:140) menyatakan bahwa sebuah kesenian yang hidup di masyarakat akan terus bergulir sejalan dengan arus perkembangan masyarakatnya. Bentuk-bentuk kesenian yang masih relevan dengan zamannya di masyarakat akan tetap hidup dengan berbagai penyesuaian, sedangkan bentuk kesenian yang tidak relevan lagi dengan massanya bisa jadi akan hilang ditelan zaman.
Salah seorang pemikir Marxis, Raymond William membahas tentang hubungan kebudayaan dengan perubahan sosial. Dalam buku Marxism and Lieratrue (1977, Raymond William mengulas konsep kebudayaan yang dominant, residual, dan emergent (121-127) yaitu konsep tentang bagaimana kebudayaan beroperasi di tengah laju perubahan sosial.  Masing-masing kebudayaan berusaha menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam menghadapi pandangan yang selalu berubah. Ada yang tampil sebagai kebudayaan dominan, ada yang ditinggalkan atau hanya menjadi peninggalan masa lalu dan ada kebudayaan yang baru.
Menurut Williams (1977) Kebudayaan dominan adalah kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok kuasa. Kecenderungan kebudayaan dominan adalah meminggirkan kebudayaan lainnya. Sedangkan kebudayaan residual-dalam hal ini salah satunya kesenian tradisional- dapat menjadi kebudayaan dominan bila ditafsir dan direkayasa disesuaikan dengan kebutuhan zaman sehingga terbentuk kebudayaan yang baru. Dari konsep tersebut, dapat dikatakan bahwa seni tradisi bisa saja terpinggirkan bila tidak disentuh beberapa perubahan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan, menurut Herdiani (2003:43) dikatakan bahwa perubahan yang terjadi karena kemajuan, yaitu adanya kemajuan fisik, pikiran, etika dan politik, berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam meningkatnya suatu kemajuan manusia adalah rasa bosan. Ketika manusia mencapai kebosanan dalam suatu aktivitas, sudah barang tentu manusia itu akan berusaha untuk mencari atau menciptakan suasana baru.
    Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tergerak untuk meneliti perubahan-perubahan yang terjadi pada teater Lenong. Perubahan-perubahan tersebut terjadi secara alamiah dan direkacipta. Dalam penelitian ini, peneliti lebih fokus mengkaji perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses rekacipta. Salah satu perubahan yang dimaksud adalah munculnya pertunjukan Komedi Betawi (Kombet) yang mengadaptasi teater Lenong. Pertunjukan Kombet diciptakan secara sengaja oleh Yayasan Komedi Betawi sejak tahun 1998. Dalam konsep pertunjukannya, Kombet mencoba memadukan unsur-unsur modern dan tradisi yang ada dalam teater Lenong. Di dalam penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan perubahan konsep dari teater Lenong menjadi Kombet, penyebab terjadinya perubahan dan proses rekacipta dari Lenong menjadi Kombet.
1.1.     Lenong sebagai Tradisi Lisan
Ninuk Kleden (1996) menyatakan bahwa lenong termasuk seni pertunjukan rakyat atau teater rakyat yang bersifat tradisional dalam arti keberadaannya telah beberapa turunan. Lenong juga tidak diketahui siapa penciptanya (anonim) karena ia sudah menjadi milik kolektif yakni masyarakat Betawi.
Menurut Ninuk Teater Lenong Betawi sebagai suatu pertunjukan mempunyai beberapa ciri khusus (yang tidak mustahil mengalami perubahan) antara lain:
1.    Perlengkapan pokok teater berupa panggung, dekor, sebuah meja dan beberapa kursi
2.    Pakaian pemain menggambarkan pakaian yang dipakai sehari-hari oleh komunitas teater tersebut
3.    Dialog menggunakan bahasa Melayu-Betawi
4.    Pertunjukan diiringi oleh musik gambang kromong
5.    Pertunjukan mengandung humor dan bersifat improvisasi
6.    Waktu pertunjukan dimulai setelah sembahyang isya dan diakhiri menjelang subuh
7.    Pertunjukan diselenggarakan karena suatu pesta hajat tertentu
8.    Penonton berdiri menonton sekitar panggung
9.    Tidak mengenal skenario secara mendetail
10.    Kegiatan teater lenong selalu menyangkut kegiatan sosial lainnya (1996:3)
Sebagai sebuah tradisi, dalam teater Lenong dikenal juga beberapa ritual atau kepercayaan yang dijalankan baik oleh para pemainnya maupun penyelenggara hajat. Dalam catatan Ninuk (1996), bentuk kepercayaan tersebut meliputi: Suguhan untuk perabot Lenong, Ngukup atau sajian doa-doa untuk kesuksesan, dan Susuk untuk ronggeng.
Dari karakteristik tersebut, teater Lenong termasuk ke dalam jenis tradisi lisan. Lenong memenuhi unsur tradisi dan kelisanan. Sebagai tradisi, Lenong adalah kesenian yang berkembang dan diwariskan turun temurun. Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi (2004) menyatakan bahwa sebuah tradisi adalah segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih melihat manfaat dan masih menyukainya. Tradisi sebagai milik masyarakat dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Sebagai tradisi lisan, Lenong memiliki karakteristik sebagaimana yang disebutkan oleh Pudentia (2000), bahwa dalam tradisi lisan, unsur kelisanan memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan penutur dalam mengingat tradisi menjadi perhatian penting. Kelisanan dalam teater Lenong terlihat dari dominannya para aktor membangun dialog secara spontan dan berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Spontanitas dalam tradisi lisan disebutkan oleh Albert Bate Lord dalam tulisannya yang berjudul “Characteristics of Orality”  dalam jurnal Oral Tradition, 2/1 (1987): 54-72 bahwa karakteristik kelisanan salah satunya spontanitas. Menurut Lord, proses penciptaan puisi lisan berlangsung pada saat pertunjukan.
    Salah satu definisi yang menggabungkan antara kelisanan dan generasi adalah Jan Vansina. Dalam buku Oral Tradition as History (1985) Vansina menyebutkan bahwa tradisi lisan adalah pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini di mana pesan itu disampaikan melalui pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Selain itu tradisi lisan harus disampaikan secara lisan sekurang-kurangnya sejarak satu generasi. (17-18). Dari semua definisi si atas, dapat dikatakan bahwa Lenong termasuk ke dalam tradisi lisan.
1.2.     Memadukan Unsur Modern dalam Tradisi
  Istilah modernisasi lahir di negara Barat. Wacana modernisasi berkaitan erat dengan wacana pembangunan dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Tokoh-tokoh pemrakarsa teori modernisasi adalah  Max Webber, W. Rostow, dll. Teori modernisasi adalah sebuah transformasi dari bentuk tradisional ke bentuk modern. Bentuk tradisi identik dengan negara-negara dunia ketiga sedangkan modern adalah negara barat. Modernisasi melibatkan perubahan pada hampir segala aspek tingkah laku sosial, termasuk di dalamnya industrialisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi dsb
Modernisasi ini tak hanya bergerak di wilayah ekonomi. Perubahan sosial juga menandakan perubahan di lapangan kebudayaan. Budaya sebagai produk kehidupan masyarakat senantiasa mengiringi perubahan sosial di sektor lainnya. Dalam dunia kesenian Indonesia yang memiliki karakteristik tradisional, kini telah lahir dan berkembang berbagai kesenian berkarakter modern. Dua bentuk tersebut hidup berdampingan. Namun dengan karakter yang berbeda, kerap kali terjadi gesekan antara keduanya. Seni tradisi pada akhirnya harus rela dikalahkan seni modern karena zaman mencerminkan modernisme itu sendiri.
  Sebagaimana telah dijelaskan di atas, teater lenong sebagai seni yang bersifat tradisional, keberadaanya mulai mengkhawatirkan. Kondisi tersebut mengundang rasa prihatin beberapa seniman Betawi. Pada tahun 1998, beberapa seniman Betawi, termasuk peneliti membentuk Komedi Betawi (Kombet) sebagai respon atas kondisi Lenong. Para seniman melihat bahwa Lenong tak berdaya menghadapi perubahan zaman. Oleh karena itu para penggagas Kombet merasa perlu untuk melakukan perubahan-perubahan. Pada tahun 2009, Kombet berusaha mengubah format tampilannya sekaligus melegalkan diri menjadi sebuah yayasan bernama Yayasan Komedi Betawi seiring dikeluarkannya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No 8 Tanggal 21 April 2010.
   Kombet merupakan salah satu kelompok seni pertunjukan yang menggunakan keragaman dialek Betawi. Kehadiran Kombet merupakan sebuah tafsir terhadap tradisi Lenong dan sebuah upaya adaptasi terhadap zaman.  Kombet merupakan sebuah transformasi dan inovasi dari seni pertunjukan Lenong. Atau dengan kata lain, seni pertunjukan Komedi Betawi yang dipimpin peneliti ini mencoba hadir dengan  semangat  teater rakyat Betawi  yang hidup dalam konteks dan situasi  jamannya. Yang menarik dari  kelompok ini adalah kemampuan adaptasi antar personil yang  memiliki dua latar belakang disiplin yang berbeda. Sebagian  para pemain Kombet (aktor) tumbuh dari latar belakang disiplin teater modern. Sebagian lainnya dengan latar belakang disiplin seni tradisi  Betawi, yaitu Lenong dan Topeng Betawi.  
  Peneliti bersama seniman teater modern menilai bahwa Lenong harus berubah. Menjadi sebuah tradisi yang tak lekang zaman. Tradisi yang Eksistensinya kekal meski zaman terus bergerak. Untuk mewujudkan bentuk tersebut, peneliti selaku  sutradara dan pimpinan grup Kombet, yang  memiliki latar belakang pendidikan formal seni pertunjukan teater modern mencoba memasukkan unsur-unsur modern ke dalam struktur Lenong. Namun demikian, Peneliti tetap menjaga nilai-nilai tradisi dalam pertunjukan Kombet yang dibuatnya.
  Pertemuan dari dua latar belakang disiplin yang berbeda dalam sebuah kerja kreatif memang bukanlah  sesuatu yang serta merta mudah  untuk dijalani. Kesediaan untuk saling belajar dan memberi  kadang sering terhambat  oleh rasa ego  yang tidak mudah untuk dicairkan dengan seketika. Dalam hal inilah Kombet berusaha untuk menjinakan ketegangan antara ego yang mempertahankan kebiasaan lama, dan  ke-egoan dengan cara pandang inovatif.             
  Kedua kelompok antara tradisi dan modern ini memiki perbedaan dalam cara pandang. Namun mereka disatukan oleh komitmen bersama untuk memajukan kesenian tradisional Betawi ini. Kelompok modern ingin memasukkan unsur-unsur teater atau pertunjukan modern, sementara kelompok tradisi ingin mempertahankan tradisi. Sesungguhnya, pandangan kedua kelompok ini tidak sama sekali bertolak belakang karena komitmen bersama dan interaksi mereka terus melakukan negosiasi untuk mencari bentuk yang bisa diterima secara bersama.
             Kesenian Lenong memiliki struktur yang tercermin dari seni musiknya, seni sastra dan teaternya, serta seni bela diri dan tarinya, dan lain-lain. Keseluruhan unsur tersebut sekaligus dapat dijadikan sebagai sumber daya (resources) untuk merekonstruksi struktur Lenong. Reproduksi struktur tersebut salah satunya ditunjukkan melalui perubahan kesenian Lenong  sesuai dengan intensi para pelakunya yang ingin mempertahankan kesenian Lenong yang harus berkompetisi dengan jenis kesenian lainnya. Proses perubahan ini dapat dimulai dari bagaimana tradisi beradaptasi. Untuk membuat tradisi bertahan dan sekaligus lebih menarik, adaptasi perlu dilakukan di sana-sini. Namun, adaptasi tidak dapat dilakukan dengan radikal karena akan meghilangkan esensi atau identitas dari tradisi itu sendiri. Di sini terjadi perimbangan antara kebutuhan beradaptasi dan kebutuhan untuk menjaga identitas tradisi. Berdasarkan uraian di atas dapat pula dilihat bahwa semakin dipertahankan, kesenian Lenong semakin menunjukkan perubahan dalam strukturnya.
    Kehadiran Kombet dapat dikatakan sebagai upaya rekacipta atas tradisi Lenong. Rekacipta tersebut dapat tercapai karena adanya upaya perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pihak tertentu. Dalam teori strukturasi Anthony Giddens, pihak-pihak tersebut disebut agen. Menurut Giddens (2010) dalam buku Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat (2010), teori strukturasi berupaya mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan (agen). Giddens melihat ada perdebatan antara strukturaslime dan obyektivisme. Teori ini menjadi penengah antara strukturalisme dan subyektivisme. Strukturalisme yang menekankan pada dominasi peran struktur di dalam kehidupan sosial dan menjadi kekuatan sosial yang mampu mencengkram dan mengendalikan individu-individu secara penuh. Sedangkan subyektivisme lebih menekankan pada peran dan tindakan individu aktif sebagai faktor dominan dalam suatu tatanan kehidupan sosial, karena individu bertindak sebagai agen. Padahal menurut Giddens, antara agen dan struktur  memiliki peran yang sama dan penting di dalam masyarakat.
Teori strukturasi sendiri menjelaskan konsep tentang individu yang dikatakan sebagai aktor (agency) yang memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya (resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sosial.
    Kehadiran Kombet merupakan sebuah adaptasi tradisi Lenong dalam menghadapi zaman. Kombet hadir dengan inspirasi nilai-nilai tradisi Betawi yang terdapat dalam Lenong. Perpaduan konsep tradisi dan modern tersebut diharapkan menjadi sebuah solusi agar tradisi mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan zaman.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha melanjutkan beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain terutama penelitian Ninuk Kleden mengenai Lenong dang Yasmine Z. Shahab mengenai rekacipta tradisi.

2.    Masalah Penelitian
  Sebagaimana telah dijelaskan di atas. Lenong sebagai teater tradisional mengalami berbagai hambatan dalam menghadapi perubahan zaman. Berdasarkan kondisi tersebut, banyak seniman yang melakukan upaya-upaya perubahan konsep atau format Lenong menjadi Lenong baru yang lebih diterima zaman. Perubahan tersebut merupakan manifestasi dari strategi adaptasi dalam menghadapi zaman. Salah satu bentuk baru yang dibuat sebagai pembaharuan teater Lenong adalah pertunjukan Komedi Betawi (Kombet). Kombet berupaya memadukan unsur modern dan tradisi yang selama ini sulit dipersatukan. Kombet tidak mengubah lenong sepenuhnya. Justru Kombet ingin mempertahankan nilai tradisi tetapi melalui kemasan modern.
  Namun demikian, kehadiran Kombet memunculkan banyak pertanyaan. Terutama dalam hal kedudukan Kombet sebagai sebuah tradisi lisan atau seni pertunjukkan modern. Pertanyaan tersebut lahir karena dalam Kombet, digunakan skenario atau cerita tertulis. Suatu hal yang jarang digunakan dalam lenong. Selain itu, beberapa fungsi dan aspek ritual yang ada dalam tradisi tentu saja tidak akan digunakan dalam seni modern termasuk Kombet. Akhirnya peneliti memandang bahwa proses adaptasi bagaimanapun akan melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan. Peneliti ingin mengkaji sejauhmana Lenong beradaptasi dengan zaman, bagaimana proses adaptasi tersebut berlangsung dan bagaimana bentuk produk yang dihasilkan dari upaya adaptasi tersebut.
  Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
1.    Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh Teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman ?
2.    Bagaimanakah proses terbentuknya Seni Pertunjukan Kombet sebagai bentuk rekacipta Teater Lenong ?
3.    Gejala transformasi kebudayaan apa yang terungkap dari adaptasi teater Lenong ke dalam Seni Pertunjukan Kombet?

3.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam proses adaptasi dari sebuah tradisi teater Lenong terhadap perubahan zaman. Bagi peneliti yang terlibat dalam tradisi tersebut, penelitian ini bertujuan untuk meyakinkan peneliti tentang sejauhmana upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan tradisi agar tak mati ditelan zaman.
1.    Menyajikan deskripsi mengenai kondisi teater Lenong pada masa kini.
2.    Menjelaskan proses adaptasi yang dilakukan oleh Teater Lenong dalam menghadapi perubahan zaman.
3.    Menjelaskan bentuk strategi adaptasi tradisi Lenong agar dapat bertahan mengikuti zaman dengan kendala metodologis yang dihadapi seorang peneliti.
4.    Mengungkapkan suatu gejala transformasi kebudayaan yang melibatkan tradisi dan modernitas menuju ke satu model perubahan.

4.    Korpus Penelitian
Korpus penelitian ini terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah sanggar lenong dengan karakter tradisi yang meliputi Sinar Subur, Setia Kawan (objek penelitian Ninuk Kleden) dan Sinorai. Kategori kedua adalah sanggar lenong dengan karakter baru (Kombet), meliputi Opelet Robert, Sanggar si Pitung dan Sanggar Kombet.
Kategori di atas tidaklah terlalu ketat. Dalam pengertian sistem keanggotaan sanggar-sanggar di atas bersifat lebih fleksibel. Seorang seniman lenong bisa bermain dan bergabung satu sama lain. Terutama untuk kategori kedua, salah satu karakteristik dari sanggar Kombet adalah penyatuan sejumlah seniman lenong dari berbagai sanggar dengan seniman teater modern dan film/sinetron. Meskipun demikian, adanya sanggar menunjukkan adanya wujud organisasi tersendiri. Sehingga untuk keperluan korpus, sanggar tersebut masih dapat diteliti. Selain itu, korpus penelitian juga mencakup para senimannya.

5.    Sumber Data
Sumber data dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang berasal dari sumber pertama atau sumber aslinya. Data primer biasanya diperoleh dengan observasi lapangan yang menggunakan semua metode pengumpulan data original atau data yang telah direkam dalam bentuk lain tanpa ada proses penyuntingan yang mengubah substansi. Data primer dalam penelitian ini adalah berupa rekaman audio visual pertunjukan, dan transkripsi naskah dalam pertunjukan (lakon) yang sejatinya tidak ada dalam lenong.
Data sekunder adalah data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Peneliti dapat mencari data sekunder ini melalui sumber data sekunder. Data sekunder dapat diperoleh di perpustakaan, perusahaan surat kabar atau majalah, internet organisasi-organisasi kebudayaan, biro pusat statistik, dan kantor-kantor pemerintah. Dalam penelitian ini data sekunder yang dimaksud adalah berupa teks-teks mengenai lenong dan perubahan-perubahannya. Data tersebut dapat diperoleh dari buku, artikel, makalah, atau berita baik cetak maupun elektronik (virtual) dari internet. Buku Ninuk Kleden dan data sekunder juga diperoleh melalui observasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada serta wawancara baik langsung maupun tidak langsung dengan para panjak (seniman lenong), pihak pemerintah (dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta), lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan Betawi, para pengamat kebudayaan Betawi, pelaku teater modern, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan proses rekacipta.

6.    Tinjauan Pustaka
Pada tinjauan pustaka ini, peneliti menjabarkan beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan Lenong, tradisi lisan, proses rekacipta tradisi, teori adaptasi, dan transformasi. Penelitian mengenai teater Lenong sudah banyak dilakukan baik oleh mahasiswa S1, S2, maupun S3. Akan tetapi tidak banyak hasil penelitian yang terpublikasikan dengan baik sehingga dapat dibaca oleh publik. Salah satu penelitian mengenai Lenong yang akan dijadikan sumber tinjauan pustaka oleh penulis adalah penelitian Ninuk Kleden mengenai Lenong yang dibukukan dengan judul Teater Lenong Betawi Studi Perbandingan Diakronik (1996).
Penjelasan mengenai proses rekacipta tradisi banyak diulas oleh beberapa ahli. Istilah rekacipta hanyalah sebuah istilah lain yang digunakan untuk mewakili segala kreasi atau upaya pengubahan sebuah tradisi  ke dalam bentuk baru. Istilah ini digunakan oleh Yasmine Z. Shahab, seorang antropolog Universitas Indonesia.  
Penjelasan mengenai teori adaptasi, peneliti akan menggunakan referensi dari buku Linda Hutcheon yang berjudul A Theory of Adaptation (2000). Sedangkan referensi mengenai transformasi, penulis akan menggunakan penelitian Pudentia MPSS yang berjudul Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992).
6.1. Buku Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik karya Ninuk            Kleden Probonegoro
Dalam buku Teater Lenong Betawi: Studi Perbandingan Diakronik (1996), Ninuk Kleden meneliti perkembangan teater Lenong pada tahun 1970-an sampai tahun 1990-an. Ninuk meneliti dua sanggar teater Lenong yang Sinar Subur dan Setia Kawan. Dalam penelitiannya, Ninuk menggunakan metode etnografi dengan menggunakan studi perbandingan diakronis. Yaitu penelitian yang mencoba merekam perkembangan dari masa ke masa. Dapat dikatakan, data-data yang disajikan Ninuk cukup lengkap. Begitupun dengan hasil pengamatan dan analisisnya.  Satu hal yang belum Ninuk sampaikan adalah amatannya mengenai perubahan di tataran struktur dan tata pemanggungan seperti penggunaan kostum, tata musik, artistik, properti, tata lampu, dll.
Penelitian Ninuk tersebut dapat dijadikan contoh bagi peneliti dalam meneliti lenong dengan menggunakan etnografi dengan cara diakronis. Khusus untuk penelitian yang akan dilakukan, peneliti lebih menyoroti berbagai perubahan terkait struktur dan tata pementasan. Sehingga dapat melengkapi penelitian Ninuk sebelumnya.
6.2. Buku Identitas Dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi (2004) karya Yasmine Z Shahab
            Yasmine Z Shahab memaparkan proses rekacipta tradisi yang dilakukan di DKI Jakarta pada tahun 80-an. Dalam bukunya yang merupakan kumpulan esai dan penelitian tersebut, Shahab menjadikan konteks dari tradisi sebagai bahasan penelitian. Konteks yang dimaksud adalah masyarakat Betawi dan pemilik otoritas Betawi seperti pemerintah dan lembaga kebetawian. Dengan observasi langsung ke lapangan, Shahab menemukan banyak data mengenai masyarakat Betawi, terutama masyarakat Betawi . Di antaranya tentang kesadaran orang Betawi terhadap identitas dan eksistensinya di Jakarta yang masih inferior. Padahal masyarakat Betawi notabene penghuni asli kota Jakarta. Shahab pun meneneliti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga kebetawian yang dikategorikan sebagai program rekacipta. Shahab melihat bahwa ada hasil yang memuaskan dari program tersebut, karena mampu mengangkat eksistensi masyarakat Betawi.
Sama seperti Ninuk, Shahab juga belum mengetengahkan pembahasan rekacipta secara detil, terutama mengenai beberapa aspek teknis perubahan yang terjadi dalam Lenong. Bagaimana proses perubahan tersebut dipandang sebagai proses kreatif dan proses produktif seorang senimannya. Atas beberapa kekurangan tersebut, peneliti akan berusaha melanjutkan dan melengkapi penelitian sebelumnya.
6.3 Buku Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992) karya Pudentia, MPSS
Pudentia MPSS dalam penelitiannya yang berjudul Transformasi Sastra : Analisis atas Cerita Rakyat Lutung Kasarung (1992) menguraikan konsep transformasi dan penerapannya pada cerita Lutung Kasarung. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses transformasi dari cerita Lutung Kasarung yang ditulis oleh Pleyte ke dalam bentuk karangan Ajip Rosidi.
Transformasi kesastraan teks Lutung Kasarung diteliti oleh Pudentia dengan menggunakan teori hubungan intertekstual. Telaah hubungan antarteks ini mengacu pada teori Riffaterre dan teori terapan yang digunakan oleh Partini Sardjono Pardotokusumo atas karya sastra Kakawin Gajah Mada (1986). Ada empat teori penerapan hipogram yakni ekspansi, konversi, modifikasi, dan ekserp.
Konsep Transformasi ini digunakan untuk membandingkan teks (naskah). Dalam penelitian ini, konsep transformasi akan digunakan untuk membandingkan struktur pertunjukan antara Lenong dan Kombet.   

7. Landasan Teori
7.1. Tradisi Lisan
Penjelasan mengenai Tradisi lisan (oral tradition), telah diuraikan dalam banyak buku. Tokoh-tokoh pemikir tradisi lisan yang terkenal adalah Milman Perry, Walter J. Ong, Albert Bate Lord, dan Jan Vansina.
Dalam buku Oral Tradition as History (1985), Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan sebagai pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan tersebut disampaikan melalui kelisanan berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Selain itu syarat bahwa sebuah sesuatu dikatan tradisi adalah bahwa proses penyampaian dan pewarisannya telah dilakukan sekurang-kurangnya sejarak satu generasi. (1985:17-18).
Dalam buku tersebut, Vansina menampilkan sarana-sarana sistematik untuk mengidentifikasi, mengumpulkan dan menafsirkan tradisi-tradisi lisan dalam rangka menemukan aspek-aspek masa lampau, terutama di tempat yang tidak memiliki dokumentasinya secara tertulis.
Tradisi secara sederhana diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat. Dalam bidang sejarah, tradisi berarti adat istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial, pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan, perilaku-perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi merupakan unsur warisan sosio-kultural yang dilestarikan dalam masyarakat atau dalam kelompok sosial masyarakat dalam kurun waktu yang panjang. Tradisi bersifat progresif kalau dihubungkan dengan perkembangan kreatif kebudayaan tetapi tradisi bersifat reaksioner kalau ia berkaitan dengan sisa-sisa yang sudah usang dari unsur-unsur budaya masa lampau. Dalam ranah ilmu, tradisi berarti kontinuitas pengetahuan dan metode-metode penelitian. Sedangkan dalam dunia seni, tradisi berarti kesinambungan gaya dan keterampilan.
Sal Murgiyanto dalam bukunya Tradisi dan Inovasi (2004) menyatakan bahwa sebuah tradisi adalah segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi akan tetap dilakukan dan diteruskan selama pendukungnya masih melihat manfaat dan masih menyukainya. Tradisi sebagai milik masyarakat dipahami sebagai kebiasaan turun temurun yang diatur dalam nilai-nilai atau norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Pudentia (2000), mengungkapkan bahwa dalam tradisi lisan, unsur kelisanan memiliki peran yang sangat penting. Kemampuan penutur dalam mengingat tradisi menjadi perhatian penting. Kelisanan dalam teater Lenong terlihat dari dominannya para aktor membangun dialog secara spontan dan berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Spontanitas dalam tradisi lisan disebutkan oleh Albert Bate Lord dalam tulisannya yang berjudul “Characteristics of Orality”  dalam jurnal Oral Tradition, 2/1 (1987): 54-72 bahwa karakteristik kelisanan salah satunya spontanitas. Menurut Lord, proses penciptaan puisi lisan berlangsung pada saat pertunjukan.
Walter J. Ong dalam buku Orality and Literacy (New Accent, 2002) menyebutkan beberapa karakteristik kelisanan. Ong menyebutnya dengan istilah budaya lisan primer. Karakteristik tersebut yaitu:
1.    Expression is additive rather than subordinative.
2.    It is aggregative rather than analytic.
3.    It tends to be redundant or "copious."
4.    There is a tendency for it to be conservative.
5.    Out of necessity, thought is conceptualized and then expressed with relatively close   reference to the human lifeworld.
6.    Expression is agonistically toned.
7.    It is empathetic and participatory rather than objectively distanced.
8.    It is Homeostatic.
9.    It is situational rather than abstract. (2002:36-56)
Semua karakteristik di atas dapat meningkatkan memorability ucapan. Ong menjelaskan bahwa akan menjadi sangat penting bagi mereka yang mencoba untuk menghafal sebuah puisi atau dongeng karena, sedangkan masyarakat literer selalu dapat merujuk kembali ke teks tertulis. Masyarakat lisan harus dapat memproses dan menghafal, informasi yang disampaikan dapat berubah, diperbaiki sesuai kebutuhan dan apa yang ada dalam ingatan. Ong menjelaskan bahwa antara dunia kelisanan dan keberaksaraan adalah saling melengkapi. Tidak ada yang lebih unggul di antara keduanya.
7.2. Rekacipta Tradisi
Yasmine Z Shahab (2004) mengetengahkan istilah Rekacipta. Istilah ini digunakan untuk menandai program-program yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga kebetawian dalam upayanya menghidupkan kembali seni tradisi Betawi yang hampir punah. Shahab memaparkan beberapa poin mengenai identitas masyarakat Betawi dan berbagai proses rekacipta tradisi Betawi. Shahab memandang bahwa posisi orang Betawi ternyata tidaklah dominan di Jakarta. Namun demikian, Shahab mengamati bahwa ada gejala yang kuat akan kebangkitan kembali orang Betawi, yang tengah menggeliat menemukan kembali identitas “kebetawiannya“.
Istilah rekacipta yang disebut oleh Shahab mengacu pada istilah invention yang tulis dalam buku The Invention of Tradition (2000) yang dieditori olej Eric Hobsbawn dan Terence Ranger. Buku tersebut memuat tujuh buah esai tentang tradisi yang diciptakan di berbagai negara, daerah dan koloni, yang sebagian besar berkaitan dengan Inggris.
Dalam catatan Hobsbawn (2000) “Invention of Traditions’ menarik minat para sejarawan selama dua abad terakhir. Menurutnya, rekacipta tradisi tersebut memiliki keunikan karena rekacipta yang ada sebagian besar adalah tiruan dari tradisi lama. Lahirnya tradisi baru merupakan sebuah tanggapan terhadap situasi baru. Bentuknya mengacu pada situasi lama. Bentuk yang baru tersebut adalah hasil sebuah perubahan yang alamiah karena perubahan sosial ditambah inovasi dari dunia modern.
The peculiarity of 'invented' traditions is that the continuity with it is largely factitious. in short, they are responses to novel situations which take the form of reference to old situations, or which establish their own past by quasi-obligatory repetition. it is the contrast between the constant change and innovation of the modern world and the attempt to structure at least some parts of social life within it as unchanging and invariant, that makes the 'invention of tradition' so interesting for historians of the past two centuries. (2)
    Eric Hobsbawn (2000) menekankan bahwa tradisi yang dimaksud bukanlah sebuah ‘adat’ yang menjadi karakteristik masyarakat tradisional. Menurut Hobsbawn, “Custom cannot afford to be invariant, because even in 'traditional' societies life is not so.” (2)
Dalam tulisan Hugh Trevor-Roper (2000) yang berjudul "The Invention of Tradition: The Highland Tradition of Scotland” dijelaskan bahwa Skotlandia berusaha melestarikan warisan budaya yang dimilikinya ketika terjadi proses unifikasi dengan Inggris. Secara khusus, ia meneliti asal-usul dari Skotlandia dan mode pakaian tradisional. Proses penciptaan tersebut dengan cepat diterima dan dikuduskan oleh rakyat Skotlandia. Tradisi yang memiliki banyak identitas tersebut identik dengan pemalsuan dan fantasi. Tradisi tersebut diciptakan oleh orang-orang yang merasa perlu di mana Skotlandia untuk memiliki budaya unggul di Kepulauan Inggris saat ini.
Menurut Hobsbawn (2000) rekacipta tradisi memiliki tiga fungsi yakni membentuk ikatan sosial di antara para anggotanya, meligitimasi status dan otoritas, dan proses konvensi nilai dan perilaku. Ketiga fungsi tersebut jelas terlihat dalam beberapa proses rekacipta yang terjadi di berbagai wilayah yang berhubungan dengan kolonialisme Inggris.
Dalam esai Eric Hobsbawn sebagai penutup buku ini (2000) Hobsbawm menghubungkan penemuan tradisi dengan fenomena abad ke-19 dan ke-20 di mana terjadi fase terbentuknya Negara dan nasionalisme. Ia menemukan bahwa tradisi yang diciptakan secara signifikan di hampir setiap negara dalam periode tersebut, memang untuk melegitimasi kelahiran dan kekuasaan.
7.3. Teori Adaptasi
Kajian mengenai Teori Adaptasi ditulis oleh Linda Hutcheon dalam buku A theory of Adaptation (2006). Menurut Hutcheon (2006) adaptasi adalah kegiatan sekunder setelah yang kegiatan aslinya. Hutcheon menyebutkan:
“When we call a work an adaptation, we openly announce its overt relationship to another work or works” (6).  
Adaptasi bersifat universal dan dapat diulang-ulang dengan berbagai variasi yang dilakukan terus-menerus. Dengan pengulangan tersebut Hutcheon percaya bahwa karya adapatasi mampu menarik minat karena karya yang disajikan terkenal. Menurut Hutcheon (2006) ada banyak bentuk adaptasi dan masing-masing produsen akan mengadaptasi sebuah teks asli dengan cara mereka sendiri yang unik.
“They use the same tools that storytellers have always used; they actualize or concretize ideas; they make simplifying selections, but also amplify and extrapolate, they make analogies; they critique or show their respect, and so on” (3)
Produsen dapat mengubah cerita agar sesuai dengan genre baru atau melakukan twist baru yang akan membuat penonton tertarik. Menurut Hutcheon (2006) ada unsur-unsur yang harus disesuaikan dalam adaptasi. Misalnya, masalah tema. Tema yang diangkat haruslah tema-tema yang mudah diadaptasi di genre yang berbeda. Karakter dalam cerita mudah dibawa sesuai karya aslinya, sedangkan pada bagian ending bisa berubah.
Hal penting  lain adalah bahwa seorang adaptor haruslah sebagai penafsir pertama yang kemudian menjadi pencipta (2006:16). Jadi, adaptor harus melakukan tafsir yang mendalam untuk kemudian membuat tafsiran baru dalam karya yang akan dibuatnya.


7.4    Transformasi
Konsep transformasi digunakan oleh Pudentia MPSS (1992) dalam meneliti teks Lutung Kasarung. Penelitian tersebut menggunakan teori penerapan hipogram sebagai naskah asal. Teori penerapan hipogram itu adalah:
7.4.1 Ekpansi.
Menurut Riffaterre (1978) ekspansi adalah “expantion transform the  constituets of the matrix sentence into more complex form” (47-48). Dari pengertian tersebut perubahan menjadi poin penting. Menurut Pudentia (1992:72) dalam hasil analisisnya terhadap Lutung Kasarung, ekspansi juga dapat berarti penambahan terhadap unsur semula yang asalnya tidak ada.
7.4.2 Konversi
Menurut Riffatere (1978) Konversi dinyatakan sebagai berikut:
Conversion transforms the constituents of the matrix sentence by modifying them all with the  same factor (63). Yang bila diteterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti konversi mengubah unsur-unsur kalimat matriks dengan memodifikasinya dengan sejumlah faktor yang sama.
Proses konversi ini digunakan Riffaterre hanya pada tataran morfologi dan fonologi. Menurut Riffatere (1978) konversi lebih ditujukan ketika transformasi meliputi tataran morfologi dan fonetik, seperti paronomasia dan anapora, tetapi ini tidak mengacu satu kejadian tertentu saja.
Pudentia (1992:72) menyatakan “Pada analisis Latung Kasarung penerapan konversi menurut batasan-batasan tersebut perlu ditinjau ulang, karena Latung Kasarung merupakan karya saduran dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia.  Dalam karya semacam ini, ekspansi tampak lebih berperan.
7.4.3 Modifikasi dan Ekserp
Pudentia menyatakan, Modifikasi merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat pada tataran kesastraan, yaitu manipulasi tokoh protagonis atau alur sehubungan dengan kenyataan bahwa Lutung Kasarung merupakan karya saduran sekaligus karya terjemahan dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia. Manipulasi pada tataran linguistik perlu memperhatikan masalah semantik dan sekaligus juga masalah estetika bahasa. Sedangkan pada tataran kesastraan, selain dipengaruhi oleh tuntutan zaman dipengaruhi pula oleh adanya perubahan tokoh wanita dari sekedar tokoh pendamping menjadi tokoh utama (Pudentia,1992:72)
Menurut Pudentia, ekserp diartikan semacam intisari suatu unsur atau episode dari  hipogram (1992:73).
Pada intinya menurut Pudentia, konsep transformasi terbagi menjadi dua bentuk yaitu transformasi lintas-budaya dan lintas bentuk. Transformasi lintas budaya dimaksudkan sebagai perubahan yang berorientasi pada dua budaya yang berbeda, sedangkan transformasi lintas bentuk dimaksudkan sebagai perubahan antarbentuk atau dari satu bentuk ke bentuk lain.

8. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Etnografi yang dipadukan dengan cara penulisan Autobiografi atau dikenal juga dengan istilah otoetnografi telah banyak dibahas dan digunakan oleh peneliti. Arthur P. Bochner dan Carolyn Ellis menulis buku yang berjudul Ethnographically Speaking, Autoethnography, Literature and Aesthetics (2002).
Ellis & Bochner (2002) mendefinisikan otoetnografi sebagai “autobiographies that self-consciously explore the interplay of the introspective, personally engaged self with cultural descriptions mediated through language, history, and ethnographic explanation”. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa otoetnografi adalah model penelitian etnografi yang mengungkap keterlibatan peneliti dalam objek budaya yang ditelitinya. Keterlibatan tersebut misalnya saat seorang peneliti menjadi pelaku budaya yang ditelitinya. Pengamatan mereka "yang menghubungkan pribadi dengan budaya" adalah karakter penting dari otoetnografi.
Menurut Carolyin Ellis sebagaimana dikutip oleh Semiarto A Purwanto (2011) pengalaman pribadi peneliti dapat menjadi bagian dari data etnografi yang ditulis, meskipun hal itu dialaminya pada saat yang berbeda dengan fieldwork yang dia lakukan. Eliis & Bochner (2002) mensyaratkan berbagai kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang peneliti otoetnografi. Kemampuan tersebut adalah: memiliki pengetahuan yang luas untuk dapat diceritakan pada orang lain, memiliki kemampuan menulis yang baik, mengamati atau merecall kembali memori masa lampau, dan mengategorikannya dalam satuan makna baru.
Dengan menggunakan metode Otoetnografi, peneliti akan memulai penelitian dengan mengamati beberapa sanggar Lenong dan para panjaknya dengan persfektif etnografi. Dalam mengamati sanggar Lenong dan para panjaknya, peneliti akan menggunakan model penelitian Ninuk Kleden yang menggunakan etnografi dengan perbandingan diakronik. Peneliti menggunakan model penelitian ini dalam mengkaji perkembangan teater Lenong dikaitkan dengan perubahannya menjadi pertunjukan Kombet. Peneliti akan melakukan pengamatan mengenai perubahan-perubahan Lenong seiring perkembangan zaman, terutama sejak tahun 1990-an sampai masa kekinian.
Perubahan-perubahan yang terjadi akan dianalisis dan dikaji dengan teori rekacipta, apakah perubahan-perubahan tersebut sudah dapat digolongkan ke dalam rekacipta atau belum. Untuk mengetahui perubahan-perubahan tersebut, teori transformasi digunakan.
Setelah proses analisis dan pengkajian peneliti menuliskan laporan dengan menggunakan teknik autobiografi. Memasukkan persfektif pribadi, di mana peneliti sebagai salah satu objek yang diteliti.  

9. Langkah-langkah Penelitian
Dalam melakukan penelitian, langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.    Pengumpulan data utama (primer), berupa rekaman audio visual pertunjukan, dan transkripsi naskah dalam pertunjukan (lakon) yang sejatinya tidak ada dalam lenong.
2.    Pengumpulan data sekunder berupa teks-teks mengenai lenong dan perubahan-perubahannya. Data tersebut dapat diperoleh dari buku, artikel, makalah, atau berita baik cetak maupun elektronik (virtual) dari internet.
3.    Pengumpulan data sekunder juga dilakukan secara etnografis dengan dilakukan pengambilan data melalui observasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada.
4.    Catatan etnografis juga didapat dari wawancara baik langsung maupun tidak langsung dengan para panjak (seniman lenong), pihak pemerintah (dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta), lembaga-lembaga kesenian dan kebudayaan Betawi, para pengamat kebudayaan Betawi, pelaku teater modern, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan proses rekacipta.
5.    Analisis data dilakukan dengan menelaah data primer dan sekunder, yang difokuskan pada wacana perubahan yang terjadi dalam lenong menuju bentuk-bentuk yang baru.
6.    Hasil analisis dikaitkan dengan studi pustaka, wawancara, dan observasi untuk mendapatkan pemaparan yang lebih komprehensif dan dapat menarik kesimpulan mengenai proses rekacipta Kombet sebagai wujud perubahan dari lenong.

10.  Sistematika Penulisan
    Hasil penelitian  ini akan diuraikan dalam lima bab. Dalam bab satu akan diuraikan latar belakang penelitian, yang terdiri dari uraian mengenai perkembangan Lenong di Jakarta, uraian mengenai beberapa perubahan format Lenong seiring perubahan sosial di Jakarta, uraian mengenai munculnya Kombet dan pembahasan mengenai permasalahan. Dari permasalahan yang ada, dirumuskan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, ditentukan tujuan penelitian, korpus penelitian, yaitu 6 sanggar Lenong: Sinar Subur, Setia Kawan, Sinorai, opelet Robert, Sanggar si Pitung dan Sanggar Kombet. Dari korpus tersebut diperoleh data yang dapat dijadikan sumber data penelitian. Tinjauan pustaka dan landasan teori dalam penelitian ini adalah sejumlah referensi mengenai penelitian lenong, tradisi lisan, teori adaptasi, transformasi, dan konsep rekacipta. Melalui teori-teori tersebut, akan dianalisis mengenai perubahan lenong ke dalam bentuk yang baru. Metode penelitian memaparkan langkah-langkah penelitian dan bagaimana hasil penelitian ditulis dengan teknik autobiogarfi.
Bab kedua menguraikan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini. Kerangka teori meliputi konsep tradisi lisan, rekacipta tradisi, transformasi, dan teori adaptasi.
Bab tiga menguraikan tentang konteks masyarakat Betawi. Bagaimana potret masyarakat Betawi DKI Jakarta. Bagaimana identitas masyarakat Betawi di DKI Jakarta dan relasinya dengan kehidupan sosial di Jakarta, serta bagaimana perkembangan sanggar-sanggar lenong yang diteliti di tengah gencarnya perubahan sosial di Jakarta.
Bab keempat berisi mengenai proses adaptasi dan strategi adaptasi lenong terhadap zaman. Sejauhmana sanggar-sanggar Lenong mampu mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan sosial Jakarta yang cepat. Selain itu pada bab ini akan diuraikan latar belakang berdirinya kombet sebagai bentuk rekacipta dari teater Lenong.            
Bab kelima adalah kesimpulan dan saran yang diajukan terkait hasil penelitian mengenai rekacipta Kombet ini.


0 komentar:

Posting Komentar

 

SEL SURYA

SEL SURYA