Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana akan menutup 546 Program Study yang ada di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, menurut Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah III Jakarta, Prof. DR. Raihan, MSi, penutupan Program studi tersebut akan merugikan masyarakat banyak.
Diakuinya penutupan tersebut memang bisa memprihatinkan tetapi juga bisa memotifasi bagi pengelola perguruan tinggi, agar perguruan tinggi benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengembang Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita seharunya melihat apakah penutupan program study itu tidak memenuhi aturan/azas, karena kalau di Perguruan Tinggi Swasta ditiap semester setiap Prody harus dilaporkan data-datanya atau Pangkalan Data, kedua apkah Program Studi itu punya ijin apa tidak, karena kalau dahulu ada ijin operasional, sebagaimana kebijakan DIKTI ijin operasional tersebut sudah di hilangkan, karena hal sebagaimana keputusan yang baru, jika Perguruan Tinggi tersebut sudah memiliki ijin operasional maka Prodi baru dianggap sudah memiliki akreditasi C, tetapi harus mempersiapkan diri untuk mengajukan akraditasi, dan kalau tidak mengajukan maka dianggap illegal, ketiga proses di Program Studi, apakah mahasiswanya sedikit atau banyak, mungkin dinilai prodi tersebut tidek diminati masyarakat, kemudian bisa juga mahasisw
anya banyak tetapi pengelolaannya kurang baik, dengan standar yang ada di BAN PT, dan program studi tersebut tidak melakukan re-akreditasi, jadi saya rasa dari empat itulah mereka melihat dan memilah-milah mana yang harus ditutup.
Sebenarnya penutupan Program studi bagi Perguruan Tinggi Negeri tidak begitu bermasalah, karena mahasiswa bisa pindah ke Perguruan Tinggi Negeri lain yang program studinya sama, namun bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta ini menjadi masalah karena merugikan masyarakat, dalam arti kalau program studi tersebut ditutup maka mahasiswa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yg lain, oleh sebab itu sebaiknya kalau program studi akan ditutup, maka harus dilihat terlebih dahulu serta diberikan pembinaan dan kalau ada yang tidak sesuai azas maka dilakukan teguran terlebih dahulu.
Prof Raihan yakin, kebijakan penutupan program studi tersebut tidak banyak dilakukan di PTS di Jakarta, karena anggota APTISI Wilayah III Jakarta sudah melaporkan, dan kalau tidak melaporkan hingga 2 atau 3 semester pasti sudah ditegur melalui surat atau internet Kopertis, jadi kalaupun harus ditutup sebaiknya dilakukan pembinaan terlebih dahulu, pinta Sekjen APTISI Wilayah III Jakarta ini.
Saat disinggung koordinasi antara Kopertis dengan APTISI, Prof Raihan mengaku sudah melakukan koordinasi dengan baik, bahkan sosialisasi juga dilakukan bersama antara Kopertis dengan APTISI, bahkan seminar-seminar dilakukan untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan, jadi khusus untuk Kopertis III bagi mereka yang program studinya belum sesuai standar, maka pengelola akan segera dipanggil, sehingga ada komunikasi yang baik, setiap peraturan yang ada selalu kita berikan masukan dan kita kritisi untuk mencari solusi yang baik, karena kekuatan PTS di Jakarta sangat heterogin apalagi sumber daya manusianya,seperti program studi kesenian ini mungkin sangat sulit kalau jumlah dosennya harus dari S2 atau S3 Seni, paparnya.
APTISI Wilayah III menghimbau kepada Pemerintah jika memang harus ada program studi yang ditutup hendaknya disesuaikan dengan aturan, dan kalau memungkinkan untuk dilakukan pembinaan secara kontinyu, lakukan pembinaan serta teguran. Di era pasar bebas ASEAN dengan akan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, Pemerintah juga harus membina perguruan tinggi didalam negeri, kebijakan maupun aturan harus melindungi perguruan tinggi di Indonesia, pinta Ketua Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (NRL).
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana akan menutup 546 Program Study yang ada di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, menurut Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah III Jakarta, Prof. DR. Raihan, MSi, penutupan Program studi tersebut akan merugikan masyarakat banyak.
Diakuinya penutupan tersebut memang bisa memprihatinkan tetapi juga bisa memotifasi bagi pengelola perguruan tinggi, agar perguruan tinggi benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengembang Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita seharunya melihat apakah penutupan program study itu tidak memenuhi aturan/azas, karena kalau di Perguruan Tinggi Swasta ditiap semester setiap Prody harus dilaporkan data-datanya atau Pangkalan Data, kedua apkah Program Studi itu punya ijin apa tidak, karena kalau dahulu ada ijin operasional, sebagaimana kebijakan DIKTI ijin operasional tersebut sudah di hilangkan, karena hal sebagaimana keputusan yang baru, jika Perguruan Tinggi tersebut sudah memiliki ijin operasional maka Prodi baru dianggap sudah memiliki akreditasi C, tetapi harus mempersiapkan diri untuk mengajukan akraditasi, dan kalau tidak mengajukan maka dianggap illegal, ketiga proses di Program Studi, apakah mahasiswanya sedikit atau banyak, mungkin dinilai prodi tersebut tidek diminati masyarakat, kemudian bisa juga mahasiswanya banyak tetapi pengelolaannya kurang baik, dengan standar yang ada di BAN PT, dan program studi tersebut tidak melakukan re-akreditasi, jadi saya rasa dari empat itulah mereka melihat dan memilah-milah mana yang harus ditutup.
Sebenarnya penutupan Program studi bagi Perguruan Tinggi Negeri tidak begitu bermasalah, karena mahasiswa bisa pindah ke Perguruan Tinggi Negeri lain yang program studinya sama, namun bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta ini menjadi masalah karena merugikan masyarakat, dalam arti kalau program studi tersebut ditutup maka mahasiswa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yg lain, oleh sebab itu sebaiknya kalau program studi akan ditutup, maka harus dilihat terlebih dahulu serta diberikan pembinaan dan kalau ada yang tidak sesuai azas maka dilakukan teguran terlebih dahulu.
Prof Raihan yakin, kebijakan penutupan program studi tersebut tidak banyak dilakukan di PTS di Jakarta, karena anggota APTISI Wilayah III Jakarta sudah melaporkan, dan kalau tidak melaporkan hingga 2 atau 3 semester pasti sudah ditegur melalui surat atau internet Kopertis, jadi kalaupun harus ditutup sebaiknya dilakukan pembinaan terlebih dahulu, pinta Sekjen APTISI Wilayah III Jakarta ini.
Saat disinggung koordinasi antara Kopertis dengan APTISI, Prof Raihan mengaku sudah melakukan koordinasi dengan baik, bahkan sosialisasi juga dilakukan bersama antara Kopertis dengan APTISI, bahkan seminar-seminar dilakukan untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan, jadi khusus untuk Kopertis III bagi mereka yang program studinya belum sesuai standar, maka pengelola akan segera dipanggil, sehingga ada komunikasi yang baik, setiap peraturan yang ada selalu kita berikan masukan dan kita kritisi untuk mencari solusi yang baik, karena kekuatan PTS di Jakarta sangat heterogin apalagi sumber daya manusianya,seperti program studi kesenian ini mungkin sangat sulit kalau jumlah dosennya harus dari S2 atau S3 Seni, paparnya.
APTISI Wilayah III menghimbau kepada Pemerintah jika memang harus ada program studi yang ditutup hendaknya disesuaikan dengan aturan, dan kalau memungkinkan untuk dilakukan pembinaan secara kontinyu, lakukan pembinaan serta teguran. Di era pasar bebas ASEAN dengan akan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, Pemerintah juga harus membina perguruan tinggi didalam negeri, kebijakan maupun aturan harus melindungi perguruan tinggi di Indonesia, pinta Ketua Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta
Diakuinya penutupan tersebut memang bisa memprihatinkan tetapi juga bisa memotifasi bagi pengelola perguruan tinggi, agar perguruan tinggi benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengembang Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita seharunya melihat apakah penutupan program study itu tidak memenuhi aturan/azas, karena kalau di Perguruan Tinggi Swasta ditiap semester setiap Prody harus dilaporkan data-datanya atau Pangkalan Data, kedua apkah Program Studi itu punya ijin apa tidak, karena kalau dahulu ada ijin operasional, sebagaimana kebijakan DIKTI ijin operasional tersebut sudah di hilangkan, karena hal sebagaimana keputusan yang baru, jika Perguruan Tinggi tersebut sudah memiliki ijin operasional maka Prodi baru dianggap sudah memiliki akreditasi C, tetapi harus mempersiapkan diri untuk mengajukan akraditasi, dan kalau tidak mengajukan maka dianggap illegal, ketiga proses di Program Studi, apakah mahasiswanya sedikit atau banyak, mungkin dinilai prodi tersebut tidek diminati masyarakat, kemudian bisa juga mahasisw
anya banyak tetapi pengelolaannya kurang baik, dengan standar yang ada di BAN PT, dan program studi tersebut tidak melakukan re-akreditasi, jadi saya rasa dari empat itulah mereka melihat dan memilah-milah mana yang harus ditutup.
Sebenarnya penutupan Program studi bagi Perguruan Tinggi Negeri tidak begitu bermasalah, karena mahasiswa bisa pindah ke Perguruan Tinggi Negeri lain yang program studinya sama, namun bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta ini menjadi masalah karena merugikan masyarakat, dalam arti kalau program studi tersebut ditutup maka mahasiswa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yg lain, oleh sebab itu sebaiknya kalau program studi akan ditutup, maka harus dilihat terlebih dahulu serta diberikan pembinaan dan kalau ada yang tidak sesuai azas maka dilakukan teguran terlebih dahulu.
Prof Raihan yakin, kebijakan penutupan program studi tersebut tidak banyak dilakukan di PTS di Jakarta, karena anggota APTISI Wilayah III Jakarta sudah melaporkan, dan kalau tidak melaporkan hingga 2 atau 3 semester pasti sudah ditegur melalui surat atau internet Kopertis, jadi kalaupun harus ditutup sebaiknya dilakukan pembinaan terlebih dahulu, pinta Sekjen APTISI Wilayah III Jakarta ini.
Saat disinggung koordinasi antara Kopertis dengan APTISI, Prof Raihan mengaku sudah melakukan koordinasi dengan baik, bahkan sosialisasi juga dilakukan bersama antara Kopertis dengan APTISI, bahkan seminar-seminar dilakukan untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan, jadi khusus untuk Kopertis III bagi mereka yang program studinya belum sesuai standar, maka pengelola akan segera dipanggil, sehingga ada komunikasi yang baik, setiap peraturan yang ada selalu kita berikan masukan dan kita kritisi untuk mencari solusi yang baik, karena kekuatan PTS di Jakarta sangat heterogin apalagi sumber daya manusianya,seperti program studi kesenian ini mungkin sangat sulit kalau jumlah dosennya harus dari S2 atau S3 Seni, paparnya.
APTISI Wilayah III menghimbau kepada Pemerintah jika memang harus ada program studi yang ditutup hendaknya disesuaikan dengan aturan, dan kalau memungkinkan untuk dilakukan pembinaan secara kontinyu, lakukan pembinaan serta teguran. Di era pasar bebas ASEAN dengan akan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, Pemerintah juga harus membina perguruan tinggi didalam negeri, kebijakan maupun aturan harus melindungi perguruan tinggi di Indonesia, pinta Ketua Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta (NRL).
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berencana akan menutup 546 Program Study yang ada di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia, menurut Sekjen Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Wilayah III Jakarta, Prof. DR. Raihan, MSi, penutupan Program studi tersebut akan merugikan masyarakat banyak.
Diakuinya penutupan tersebut memang bisa memprihatinkan tetapi juga bisa memotifasi bagi pengelola perguruan tinggi, agar perguruan tinggi benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengembang Tri Dharma Perguruan Tinggi, kita seharunya melihat apakah penutupan program study itu tidak memenuhi aturan/azas, karena kalau di Perguruan Tinggi Swasta ditiap semester setiap Prody harus dilaporkan data-datanya atau Pangkalan Data, kedua apkah Program Studi itu punya ijin apa tidak, karena kalau dahulu ada ijin operasional, sebagaimana kebijakan DIKTI ijin operasional tersebut sudah di hilangkan, karena hal sebagaimana keputusan yang baru, jika Perguruan Tinggi tersebut sudah memiliki ijin operasional maka Prodi baru dianggap sudah memiliki akreditasi C, tetapi harus mempersiapkan diri untuk mengajukan akraditasi, dan kalau tidak mengajukan maka dianggap illegal, ketiga proses di Program Studi, apakah mahasiswanya sedikit atau banyak, mungkin dinilai prodi tersebut tidek diminati masyarakat, kemudian bisa juga mahasiswanya banyak tetapi pengelolaannya kurang baik, dengan standar yang ada di BAN PT, dan program studi tersebut tidak melakukan re-akreditasi, jadi saya rasa dari empat itulah mereka melihat dan memilah-milah mana yang harus ditutup.
Sebenarnya penutupan Program studi bagi Perguruan Tinggi Negeri tidak begitu bermasalah, karena mahasiswa bisa pindah ke Perguruan Tinggi Negeri lain yang program studinya sama, namun bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta ini menjadi masalah karena merugikan masyarakat, dalam arti kalau program studi tersebut ditutup maka mahasiswa tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi yg lain, oleh sebab itu sebaiknya kalau program studi akan ditutup, maka harus dilihat terlebih dahulu serta diberikan pembinaan dan kalau ada yang tidak sesuai azas maka dilakukan teguran terlebih dahulu.
Prof Raihan yakin, kebijakan penutupan program studi tersebut tidak banyak dilakukan di PTS di Jakarta, karena anggota APTISI Wilayah III Jakarta sudah melaporkan, dan kalau tidak melaporkan hingga 2 atau 3 semester pasti sudah ditegur melalui surat atau internet Kopertis, jadi kalaupun harus ditutup sebaiknya dilakukan pembinaan terlebih dahulu, pinta Sekjen APTISI Wilayah III Jakarta ini.
Saat disinggung koordinasi antara Kopertis dengan APTISI, Prof Raihan mengaku sudah melakukan koordinasi dengan baik, bahkan sosialisasi juga dilakukan bersama antara Kopertis dengan APTISI, bahkan seminar-seminar dilakukan untuk memberikan masukan dalam pengambilan kebijakan, jadi khusus untuk Kopertis III bagi mereka yang program studinya belum sesuai standar, maka pengelola akan segera dipanggil, sehingga ada komunikasi yang baik, setiap peraturan yang ada selalu kita berikan masukan dan kita kritisi untuk mencari solusi yang baik, karena kekuatan PTS di Jakarta sangat heterogin apalagi sumber daya manusianya,seperti program studi kesenian ini mungkin sangat sulit kalau jumlah dosennya harus dari S2 atau S3 Seni, paparnya.
APTISI Wilayah III menghimbau kepada Pemerintah jika memang harus ada program studi yang ditutup hendaknya disesuaikan dengan aturan, dan kalau memungkinkan untuk dilakukan pembinaan secara kontinyu, lakukan pembinaan serta teguran. Di era pasar bebas ASEAN dengan akan masuknya perguruan tinggi asing ke Indonesia, Pemerintah juga harus membina perguruan tinggi didalam negeri, kebijakan maupun aturan harus melindungi perguruan tinggi di Indonesia, pinta Ketua Yayasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar