Sidang itsbat yang dilakukan pemerintah menetapkan awal Dzulhijah sekaligus menentukan Hari Raya Idul Adha 1435 H yang jatuh pada Ahad, 5 Oktober 2014, Ketua FKUB DKI Jakarta, DR. KH. Ahmad Syafi’i Mufid mengaku menyambut baik keputusan tersebut, menurutnya Idul Qurban Seiring-sejalan dengan Nilai-nilai Luhur Pancasila.
Lebih jauh KH Ahmad Syafi’I Mufid menjelaskan, dimana dalam melaksanakan Qurban, secara harfiah adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dalam Alquran Allah tidak mengharapkan darah atau daging, tetapi patuh terhadap apa yang diperintahkan agama serta menjauhi larangannya, sementara dalam pemaknaannya, qurban adalah penyembelihan hewan serta menebarkan daging kepada mereka yang kurang mampu, atau yang jarang mengkonsumsi daging, hal tersebut juga sebagai simbul dari perbaikan gizi dan kualitas manusia Indonesia.
Disamping itu, dengan membagikan daging hewan qurban sebagai bentuk perhatian pada yang kurang beruntung dengan kebutuhan fisik, penyembelihan hewan ternak untuk dibagikan pada orang lain, secara sosial adalah memberikan sebagian hartanya yang kemudian dibagikan kepada yang kurang beruntung, hal tersebut sangat bagus dalam pembelajaran umat, bagi bangsa Indonesia untuk saling berbagi,karena di Indonesia masih banyak masyarakat yang kurang mampu/miskin.
Indonesia dengan dasar Negara “Pancasila”, dimana dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan lambang Bintang terdapat pada dada burung Garuda, korelasinya dengan Qurban, adalah wujud perhatian yang kuat pada yang lemah, bentuk persaudaraan golongan yang kaya dengan yang miskin, dimana yang kaya menyayangi yang miskin. Qurban dengan ajakan untuk saling berbagi juga memiliki makna “Kemanusiaan yang Adik dan Beradab”, sebagaimana yang tertuang dalam sila kedua, dimana beradab adalah pembagian daging dengan iklas, untuk mengambil atau dibagi, yang kuat memperhatikan yang kecil atau yang lemah. Itu adalah kemanusiaan dan beradab.
Darisitu maka akan terbentuk persatuan dari kelompok yang kaya atau yang kuat dengan yang lemah atau yang miskin, yang kaya menyayangi yang miskin dan yang miskin juga menghargai yang kuat, demikian juga saat pelaksanaan sholat Idul Adha dilapangan atau Masjid secara bersama-sama tanpa membedakan kaya atau miskin, kuat atau lemah, sebagai bentuk “Persatuan Indonesia”.
Sementara dalam Sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, dituangkan dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, dimana Hikmat adalah bentuk kearifan sebagai hukum Allah yang tidak tertulis dan diajarkan kepada alam, dan menjadi acuan dalam pengelolaan aneka ragam ini, demikian juga kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, bahwa semuanya harus ada pimpinan, ada yang memimpin dan yang dipimpin sehingga akan sampailah pada tujuan kemerdekaan RI, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, jadi makna Qurban dengan implementasi nilai agama, yang seiring sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, papar KH. Ahmad Syafi’i Mufid.
Lebih jauh KH Ahmad Syafi’I Mufid menjelaskan, dimana dalam melaksanakan Qurban, secara harfiah adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dalam Alquran Allah tidak mengharapkan darah atau daging, tetapi patuh terhadap apa yang diperintahkan agama serta menjauhi larangannya, sementara dalam pemaknaannya, qurban adalah penyembelihan hewan serta menebarkan daging kepada mereka yang kurang mampu, atau yang jarang mengkonsumsi daging, hal tersebut juga sebagai simbul dari perbaikan gizi dan kualitas manusia Indonesia.
Disamping itu, dengan membagikan daging hewan qurban sebagai bentuk perhatian pada yang kurang beruntung dengan kebutuhan fisik, penyembelihan hewan ternak untuk dibagikan pada orang lain, secara sosial adalah memberikan sebagian hartanya yang kemudian dibagikan kepada yang kurang beruntung, hal tersebut sangat bagus dalam pembelajaran umat, bagi bangsa Indonesia untuk saling berbagi,karena di Indonesia masih banyak masyarakat yang kurang mampu/miskin.
Indonesia dengan dasar Negara “Pancasila”, dimana dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dengan lambang Bintang terdapat pada dada burung Garuda, korelasinya dengan Qurban, adalah wujud perhatian yang kuat pada yang lemah, bentuk persaudaraan golongan yang kaya dengan yang miskin, dimana yang kaya menyayangi yang miskin. Qurban dengan ajakan untuk saling berbagi juga memiliki makna “Kemanusiaan yang Adik dan Beradab”, sebagaimana yang tertuang dalam sila kedua, dimana beradab adalah pembagian daging dengan iklas, untuk mengambil atau dibagi, yang kuat memperhatikan yang kecil atau yang lemah. Itu adalah kemanusiaan dan beradab.
Darisitu maka akan terbentuk persatuan dari kelompok yang kaya atau yang kuat dengan yang lemah atau yang miskin, yang kaya menyayangi yang miskin dan yang miskin juga menghargai yang kuat, demikian juga saat pelaksanaan sholat Idul Adha dilapangan atau Masjid secara bersama-sama tanpa membedakan kaya atau miskin, kuat atau lemah, sebagai bentuk “Persatuan Indonesia”.
Sementara dalam Sila ke empat “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, dituangkan dalam Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, dimana Hikmat adalah bentuk kearifan sebagai hukum Allah yang tidak tertulis dan diajarkan kepada alam, dan menjadi acuan dalam pengelolaan aneka ragam ini, demikian juga kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, bahwa semuanya harus ada pimpinan, ada yang memimpin dan yang dipimpin sehingga akan sampailah pada tujuan kemerdekaan RI, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, jadi makna Qurban dengan implementasi nilai agama, yang seiring sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, papar KH. Ahmad Syafi’i Mufid.
0 komentar:
Posting Komentar