Boni Hargens : Konsekuensi RUU BPIP ditinjau dari aspek Politik
Jakarta, Rancangan Undang-Undang BPIP yang diajukan Pemerintah ke DPR RI telah menuai reaksi dari masyarakat. Gagasan dasar lahirnya RUU HIP yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP adalah dipertanyakannya landasan yuridis bagi keberadaan BPIP sebagai lembaga negara.
Hal ini disampaikan oleh Boni Hargens selaku Pengamat Politik dalam bincang Velox di Jakarta, Kamis (30/7).
“Selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI memikirkan solusi yaitu musti ada satu perangkat hukum yang menjadi dasar bagi BPIP, sehingga lahirnya RUU ini, ada dua alasan penting yang saya catat dengan munculnya RUU ini yaitu alasan kontekstual dan alasan kedua adalah alasan politik.” ungkap Boni.
Ketika muncul pasal kontroversial dalam RUU HIP maka akan menguras banyak energi Bangsa dan Negara untuk memperdebatkankan pasal - pasal ini. Seperti adanya Pasal tentang Trisila dan Ekasila yang menuai penolakan masyarakat, ditambah lagi absennya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme dan Marxisme dalam RUU HIP sehingga menimbulkan goncangan politik yang mengganggu jalannya proses legislasi secara khusus dan jalannya pemerintahan secara umum.
Setidaknya terdapat tiga bentuk ancaman yang perlu dihadapi dalam konteks kegaduhan RUU HIP yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, yang pertama kelompok radikal yang mengkapitalisasi Politik Identitas, kemudian kelompok oposisi parlemen dan non-parlemen yang memelihara dendam terhadap pemerintah karena tidak menerima hasil pemilu 2019, yang terakhir kelompok politik yang sedang merancang strategi memenangkan pilpres 2024 (bisa partai politik yang saat ini propemerintah, bisa juga kelompok oposisi parlemen dan oposisi nonparlemen).
“Langkah pemerintah dan DPR RI sudah tepat dengan menghentikan pembahasan RUU HIP, dan muncul usulan baru yaitu RUU BPIP yang saat ini dibahas.” terang Boni.
BPIP sendiri lahir di tengah konteks nasional dimana terjadi gejolak Ideologis yang cukup serius. Sejak abad ke 21, Muncul politik Identitas yang begitu dominan dalam ruang publik, muncul kelompok kelompok berjubah agama yang tidak saja untuk kepentingan politik tapi juga ideologis yang ingin memperjuangkan konstruksi politik yang lain seperti negara agama atau khilafah. Oleh karena itu, pentingnya strategi memperkuat Pancasila sebagai dasar Negara dan Ideologi. Karena berbicara BPIP, berbicara soal institusi yang bisa mendorong supaya pengamalan nilai-nilai Pancasila konkrit dalam tindakan tindakan sosial oleh karena itu pentingnya RUU BPIP.
Sementara Deputi VII BIN Bidang Kominfo, DR Wawan Purwanto SH MH (Deputi VII, BIN) melihat bahwa Polemik RUU pasti terjadi, perbedaan pandangan politik selalu terjadi di dunia demokrasi. Dalam perkembangannya kemudian ada yang berupaya mendowngrade atau menyudutkan seseorang atau partisan tertentu. Belajar dari pemilu 2019, masyarakat perlu menyikapi persoalan dengan tenang, apalagi menyangkut masalah Ideologi, sesuatu bisa digiring dan dimaknai tatkala kita melihat urgensi dan dihadapkan dengan kepentingan Nasional.
Saat ini sudah mengerucut bahwa RUU HIP sudah close, sekarang kita masuk dalam pembahasan RUU BPIP yang sudah mengakomodir keinginan dan pemikiran dari masyarakat dengan adanya landasan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dan pasal-pasal kontroversial dalam RUU HIP sudah tidak adalagi dalam RUU BPIP.
“Marilah Kita melihat ke depan, jangan menengok ke belakang karena tidak akan selesai-selesai, apakah selamanya akan memelihara masalah.” tambah Wawan.
Setiap RUU pasti ada uji publik minimal di lima kota besar, karena dengan dilakukan uji publik itu akan diketahui masukan, pemikiran, alasan, dan dasar apa yang menjadikan latar belakang menyatakan pendapat. Bahwa pada kenyataannya siapa yang akan membumikan Ideologi Pancasila jika bukan kita yang melakukannya.
Pada 1998 Pancasila ‘dikubur hidup-hidup’, tidak diajarkan di sekolah-sekolah akhirnya yang terjadi pemuda-pemuda kita menganut ideologi kekerasan, yang tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila entah Ideologi ke kanan atau ke kiri.
Selanjutnya pada tahun 2017 direvitalisasi oleh Pemerintah dengan membuat BPIP. “RUU BPIP telah digulirkan mari disikapi dengan niat yang positif agar bangsa ini dipersatukan dengan pemikiran-pemikiran yang berakar dari Ideologi Pancasila. Sementara soal RUU HIP belum dicabut dari Prolegnas, hal tersebut hanya masalah teknis administrasi saja.
Menurut Boni Hargens, “Keberadaan RUU BPIP sangat sentral, fokus RUU ini selain menyediakan dasar hukum juga untuk membantu BPIP bekerja secara strategis bagaimana melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan dalam rangka pembinaan, orientasinya adalah membumikan Pancasila sebagai pandangan hidup sebagai filosofi Bangsa keseluruh lapisan masyarakat.” ujarnya.
Undang-Undang ini akan menjadi sangat penting, karena dia adalah perangkat hukum yang menjadi referensi di dalam operasionalisasi nilai-nilai Pancasila di dalam aktifitas sosial politik masyarakat.
Jakarta, Rancangan Undang-Undang BPIP yang diajukan Pemerintah ke DPR RI telah menuai reaksi dari masyarakat. Gagasan dasar lahirnya RUU HIP yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP adalah dipertanyakannya landasan yuridis bagi keberadaan BPIP sebagai lembaga negara.
Hal ini disampaikan oleh Boni Hargens selaku Pengamat Politik dalam bincang Velox di Jakarta, Kamis (30/7).
“Selanjutnya Pemerintah bersama DPR RI memikirkan solusi yaitu musti ada satu perangkat hukum yang menjadi dasar bagi BPIP, sehingga lahirnya RUU ini, ada dua alasan penting yang saya catat dengan munculnya RUU ini yaitu alasan kontekstual dan alasan kedua adalah alasan politik.” ungkap Boni.
Ketika muncul pasal kontroversial dalam RUU HIP maka akan menguras banyak energi Bangsa dan Negara untuk memperdebatkankan pasal - pasal ini. Seperti adanya Pasal tentang Trisila dan Ekasila yang menuai penolakan masyarakat, ditambah lagi absennya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme dan Marxisme dalam RUU HIP sehingga menimbulkan goncangan politik yang mengganggu jalannya proses legislasi secara khusus dan jalannya pemerintahan secara umum.
Setidaknya terdapat tiga bentuk ancaman yang perlu dihadapi dalam konteks kegaduhan RUU HIP yang kemudian berubah menjadi RUU BPIP, yang pertama kelompok radikal yang mengkapitalisasi Politik Identitas, kemudian kelompok oposisi parlemen dan non-parlemen yang memelihara dendam terhadap pemerintah karena tidak menerima hasil pemilu 2019, yang terakhir kelompok politik yang sedang merancang strategi memenangkan pilpres 2024 (bisa partai politik yang saat ini propemerintah, bisa juga kelompok oposisi parlemen dan oposisi nonparlemen).
“Langkah pemerintah dan DPR RI sudah tepat dengan menghentikan pembahasan RUU HIP, dan muncul usulan baru yaitu RUU BPIP yang saat ini dibahas.” terang Boni.
BPIP sendiri lahir di tengah konteks nasional dimana terjadi gejolak Ideologis yang cukup serius. Sejak abad ke 21, Muncul politik Identitas yang begitu dominan dalam ruang publik, muncul kelompok kelompok berjubah agama yang tidak saja untuk kepentingan politik tapi juga ideologis yang ingin memperjuangkan konstruksi politik yang lain seperti negara agama atau khilafah. Oleh karena itu, pentingnya strategi memperkuat Pancasila sebagai dasar Negara dan Ideologi. Karena berbicara BPIP, berbicara soal institusi yang bisa mendorong supaya pengamalan nilai-nilai Pancasila konkrit dalam tindakan tindakan sosial oleh karena itu pentingnya RUU BPIP.
Sementara Deputi VII BIN Bidang Kominfo, DR Wawan Purwanto SH MH (Deputi VII, BIN) melihat bahwa Polemik RUU pasti terjadi, perbedaan pandangan politik selalu terjadi di dunia demokrasi. Dalam perkembangannya kemudian ada yang berupaya mendowngrade atau menyudutkan seseorang atau partisan tertentu. Belajar dari pemilu 2019, masyarakat perlu menyikapi persoalan dengan tenang, apalagi menyangkut masalah Ideologi, sesuatu bisa digiring dan dimaknai tatkala kita melihat urgensi dan dihadapkan dengan kepentingan Nasional.
Saat ini sudah mengerucut bahwa RUU HIP sudah close, sekarang kita masuk dalam pembahasan RUU BPIP yang sudah mengakomodir keinginan dan pemikiran dari masyarakat dengan adanya landasan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dan pasal-pasal kontroversial dalam RUU HIP sudah tidak adalagi dalam RUU BPIP.
“Marilah Kita melihat ke depan, jangan menengok ke belakang karena tidak akan selesai-selesai, apakah selamanya akan memelihara masalah.” tambah Wawan.
Setiap RUU pasti ada uji publik minimal di lima kota besar, karena dengan dilakukan uji publik itu akan diketahui masukan, pemikiran, alasan, dan dasar apa yang menjadikan latar belakang menyatakan pendapat. Bahwa pada kenyataannya siapa yang akan membumikan Ideologi Pancasila jika bukan kita yang melakukannya.
Pada 1998 Pancasila ‘dikubur hidup-hidup’, tidak diajarkan di sekolah-sekolah akhirnya yang terjadi pemuda-pemuda kita menganut ideologi kekerasan, yang tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila entah Ideologi ke kanan atau ke kiri.
Selanjutnya pada tahun 2017 direvitalisasi oleh Pemerintah dengan membuat BPIP. “RUU BPIP telah digulirkan mari disikapi dengan niat yang positif agar bangsa ini dipersatukan dengan pemikiran-pemikiran yang berakar dari Ideologi Pancasila. Sementara soal RUU HIP belum dicabut dari Prolegnas, hal tersebut hanya masalah teknis administrasi saja.
Menurut Boni Hargens, “Keberadaan RUU BPIP sangat sentral, fokus RUU ini selain menyediakan dasar hukum juga untuk membantu BPIP bekerja secara strategis bagaimana melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan dalam rangka pembinaan, orientasinya adalah membumikan Pancasila sebagai pandangan hidup sebagai filosofi Bangsa keseluruh lapisan masyarakat.” ujarnya.
Undang-Undang ini akan menjadi sangat penting, karena dia adalah perangkat hukum yang menjadi referensi di dalam operasionalisasi nilai-nilai Pancasila di dalam aktifitas sosial politik masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar