Tregedi Mbah Priok, Harianto Badjoeri Mulai Angkat Bicara

Gencarnya desakan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, membuat Harianto Badjoeri mulai angkat bicara. Tuntutan mundur itu terkait dengan bentrok fisik antara Satpol PP dengan massa, saat akan melakukan penertiban gapura dan pendopo di areal makam Mbah Priok pada Rabu (14/4) lalu. HB sapaan akrabnya, selain menyesalkan tragedi berdarah itu juga meminta agar aparat kepolisian mengusut tuntas tewasnya tiga anggota Satpol PP saat bentrok itu.

Akibat bentrok itu, selain mengakibatkan tewasnya tiga anggotanya, Satpol PP juga kehilangan 24 unit truk, 43 unit mobil Panther, 14 unit mobil KIA, 2 unit mobil komando, 2 unit mobil kijang, satu unit motor, 575 unit pakaian pengendalian massa dan tameng, serta dua unit HT (handy talky).

HB menyebutkan, seharusnya bentrokan itu tidak perlu terjadi karena ia sudah melakukan pendekatan ke berbagai pihak sejak empat tahun lalu. Secara pribadi, ia telah bertemu dengan tokoh-tokoh Forum Betawi Rempug (FBR), Front Pembela Islam (FPI), para habib Jakarta Utara dan perwakilan ahli waris sejak tahun 2006.

“Kami sudah memberitahu mereka bahwa makam tidak akan digusur, melainkan akan dipugar dan dipercantik. Juga diberitahukan hanya akses jalan yang akan diubah supaya akses masuk terminal petikemas Koja tetap steril dan terjaga dengan baik,” kata Badjoeri di Jakarta, Jumat (16/4). 

Dalam melaksanakan tugas, Satpol PP dipastikan sulit menghindari terjadinya kekerasan. Sebab tugas mereka yaitu menegakkan perda dan menertibkan pelanggaran. Sementara, kenyataan yang ditemukan di lapangan yakni banyak warga melakukan pelanggaran. Di antaranya mendirikan tempat tinggal di lokasi yang tidak dilarang oleh peraturan atau undang-undang, hingga mencari penghasilan di area yang seharusnya tidak boleh ada pedagang kaki lima (PKL). 

Saat dilakukan penertiban, mereka yang tidak mau kalau mata pencariannya dibongkar, selalu melawan dengan cara kekerasan. Padahal sebelumnya, sosialisasi sudah dilakukan tetapi juga kerap kali sering ditolak warga. “Kami tidak ada pilihan lain selain menjalankan tugas. Jika diserang secara fisik, mau tidak mau kami harus bertahan dan melawan balik. Saat terjadi kekerasan itulah, kami selalu menjadi pihak yang dipersalakan,” ujarnya.

Ia menegaskan, jika warga tidak melawan dan mau menurut terhadap penertiban yang dilakukan maka Satpol PP juga tidak akan melakukan kekerasan. Karena seluruh anggota Satpol PP mempunyai keluarga yang menanti kedatangan mereka untuk pulang dengan selamat.

Keberadaan Satpol PP, bagaikan tangan kiri pemerintahan daerah. Mereka melakukan pekerjaan kasar tetapi itu diperlukan untuk mencapai ketertiban sipil. Misalnya, jika Satpol PP tidak berpatroli maka bisa saja semua kantor pemerintah, termasuk Istana Negara dikotori oleh ratusan PKL dan angkutan umum yang berhenti sembarangan.

Meski tugas berat diembannya, HB tetap berlapang dada jika tindakannya dianggap salah dan harus diganti. “Semua saya serahkan kepada gubernur. Saya siap menghadapi apa pun,” imbuhnya.

Namun, adanya desakan untuk membubarkan Satpol PP, ia menyarankan agar pemerintah pusat merevisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebab, institusinya itu dilindungi undang-undang untuk menciptakan ketertiban di daerah.

Kronologis Bentrokan


Selanjutnya, secara detail HB menceritakan kronologis peristiwa Koja Berdarah pada Rabu (14/4) lalu. Menurutnya, saat 2.000 anggota Satpol PP apel pagi pukul 05.00 di kantor walikota Jakarta Utara, pihaknya mendapat informasi dari intelijen Kodim Jakarta Utara bahwa situasi di sekitar makam Mbah Priok kondusif sehingga penertiban dapat dilakukan. Akan tetapi, di luar dugaan, di dalam areal makam terjadi provokasi yang menyebutkan Satpol PP akan menggusur makam.

Ketika pasukan Satpol PP sampai di Jl Dobo, banyak warga yang langsung menyerang mereka dengan batu, botol, bom molotov dan air keras. Pasukan Satpol PP mengambil posisi bertahan dan perlahan merangsek maju. “Kami tidak mungkin melempari lebih dulu karena tidak dipersenjatai dengan batu. Batu yang kami lempar adalah batu yang dilempar warga sebelumnya,” ceritanya. 

Sampai di depan gerbang, mereka disambut dengan ayunan pedang, celurit dan berbagai senjata tajam lainnya. Akibatnya, sebanyak 29 anggota Satpol PP terluka, ada yang putus jari, putus tangan dan ususnya terburai.

“Lalu pada pukul 10.00, bentrokan berhenti. Namun tidak ada perintah dari Balaikota DKI untuk menghentikan penertiban. Oleh karena itu, Satpol PP kembali maju ke pintu gerbang pada pukul 11.30 hingga 12.30. Saat itulah, bentrokan kembali terjadi dan korban juga berjatuhan,” katanya.

Meski warga yang lebih duluan menyerang, ia mengakui ada anak buahnya yang bertindak kasar terhadap warga yang tertangkap. Namun, mereka segera membawa warga yang menjadi korban ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.

Kemudian, sekitar pukul 12.30 ada perintah penarikan pasukan dari Balaikota DKI. Namun tindakan penarikan pasukan tidak dapat langsung dilakukan karena sinyal telepon dan radio HT diacak oleh pihak keamanan. Setelah semua pasukan Satpol PP berhasil ditarik dari pintu gerbang, mereka menyadari ada massa dalam jumlah besar datang dari arah Jl Jampea. “Kami ingin mundur tetapi pasukan kami terlanjur terkepung oleh massa,” bebernya.

Sebagai tindakan penyelamatan diri, akhirnya Satpol PP menjebol pagar dan tembok TPK (terminal peti kemas) Koja dan mengevakuasi diri melalui laut. Akan tetapi ada pasukan yang tertinggal dan disiksa warga sampai tewas sebanyak tiga orang. Mereka adalah Ahmad Tadjudin (26 tahun), Israel Jaya (27 tahun) dan Warsito Soepono (44 tahun). Kini HB meminta agar polisi mengusut kasus tewasnya ketiga anggotanya. Menurutnya, pembunuhan itu dilakukan dengan cara yang keji karena ketiga anggotanya tersebut tewas dengan dicacah senjata tajam.



0 komentar:

Posting Komentar

 

SEL SURYA

SEL SURYA