Sebuah rekaman video saat rapat Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok dengan jajaran DInas PU Provinsi DKI Jakarta, yang dimuat pada jejaring sosial youtube, ditanggapi serius oleh Anggota DPRD, H Rukun Santoso, menurutnya pemuatan data saat rapat tidaklah etis, karena itu rapat internal, dan seharusnya bukan kondisi rapat, tetapi hasil dari rapat tersebut, sebagai keputusan resmi Pemda yang perlu dipublikasikan.
Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki etika dan tatakrama, ada aturan yang boleh dibuka bagi umum, tapi ada juga yang tertutup, transparan bukan berarti semua proses bisa dipublikasikan, saya rasa sidang dewan di DPRRI juga ada yang terbuka untuk umum, tetapi ada juga sidang tertutup, jika masih dalam proses pembahasan, jadi Biro Humas dan Protokol seharusnya memahami hal tersebut, pinta Politisi Partai Hanura.
Disamping itu masalah “ Sisa lebih penggunaan anggaran (silpa)”, yang diributkan Ahok dengan Dinas PU, dimana silpa tersebut akan diperoleh dengan pemangkasan 25% pagu sebelum dilakukan lelang, menunjukkan bahwa Wagub belum memahami masalah silpa, menurut Anggota Komisi A ini bahwa Pemotongan anggaran tidak bisa disamakan dengan Silpa.
Silpa terjadi jika pertama, proyek salah kode rekening, sehingga proyek tidak dijalankan, kedua waktu yang ditentukan tidak mungkin bisa dijalankan, sehingga dibatalkan, dan kegita ada sisa penawaran saat lelang, maka uang tersebut akan dikembalikan ke Negara atau APBD. Jadi pemotongan anggaran sebelum proses lelang dengan Silpa itu beda, dan tidak bisa disamakan,
Penghematan dengan pemotongan harga atau nilai proyek, seharusnya dilakukan saat perencanaan awal, sehingga proyek yang akan dilaksanakan kedepan itu yang perlu dievaluasi,atau dilakukan perubahan dalam perencanaanya, dan akan muncul nilai atau harga sebagaimana yang diinginkan, baru dilakukan lelang. Jadi bukan nilai pagu lelang di potong dulu 25%, baru dilelang 100%, karena dalam lelang pasti ada selisih harga penawaran dari peserta tender, dan pasti akan ada Silpa lagi,
Lebih jauh H Rukun menegaskan, selisih harga yang ditawar peserta lelang adalah proses bisnis murni, misalkan proyek seharga 100 dilakukan pelelangan, dan kemudian ada yang menawar 85 berarti ada silfa 15%, demikian juga jika ada yang berani menawar 80, berarsi yang 20% itu disebut silpa, dan selisih penawaran itu adalah hasil proses pasar murni dan dilakukan secara tertutup, tetapi kalau sebelum dilelang tiba-tiba nilainya dipangkas 25%, berarti yang ditawarkan bukan dengan kualitas 100% tersebut, dan nilainya yang ditawarkan hanya seharga 75%, jadi pemotongan sebelum dilelang itu bukan silpa, dan penawaran barang/proyek fisik, seharga 100 dengan harga 75 jelas berbeda kualitasnya, dan harus diketahui pemotongan seperti itu bukan silpa.
Misalkan contoh lagi, Pemda menawarkan pengadaan mobil seharga 100 juta tiba-tiba dipangkas 25% terlebih dahulu, dan meminta panitia lelang untuk dapat menyediakan mobil seharga 100 juta dengan penawaran 75 juta, ini jelas tidak sesuai, dan tidak mungkin terlaksana, berarti itu yang ditawarkan untuk pengadaan barang mobil seharga 75 juta bukan 100 juta, kualitasnya jelas akan beda.
H Rukun juga menegaskan, saat lelang digelar, ada sisa estimasi dari harga yang ditawarkan, adalah rahasia perusahaan dan bentuk persaingan bisnis murni,sebuah persaingan pasar bebas, disamping itu harga penawaran estimasi pelelangan atau pagu 100 % adalah hasil perhitungan resmi untuk sebuah pekerjaan, yang disusun oleh konsultan yang ditunjuk Pemda DKI. Tidak mungkin orang akan menawar 75% dari PAGU , langsung menjadi pemenang tender. Dalam Peraturan Presiden bahkan sudah ditegaskan, bahwa apabila ada Perusahaan yang menawar dibawah 80%, maka harus menyertakan persyaratan jaminan pelaksanaan dua kali lipat, ungkapnya tegas.
Bangsa ini adalah bangsa yang memiliki etika dan tatakrama, ada aturan yang boleh dibuka bagi umum, tapi ada juga yang tertutup, transparan bukan berarti semua proses bisa dipublikasikan, saya rasa sidang dewan di DPRRI juga ada yang terbuka untuk umum, tetapi ada juga sidang tertutup, jika masih dalam proses pembahasan, jadi Biro Humas dan Protokol seharusnya memahami hal tersebut, pinta Politisi Partai Hanura.
Disamping itu masalah “ Sisa lebih penggunaan anggaran (silpa)”, yang diributkan Ahok dengan Dinas PU, dimana silpa tersebut akan diperoleh dengan pemangkasan 25% pagu sebelum dilakukan lelang, menunjukkan bahwa Wagub belum memahami masalah silpa, menurut Anggota Komisi A ini bahwa Pemotongan anggaran tidak bisa disamakan dengan Silpa.
Silpa terjadi jika pertama, proyek salah kode rekening, sehingga proyek tidak dijalankan, kedua waktu yang ditentukan tidak mungkin bisa dijalankan, sehingga dibatalkan, dan kegita ada sisa penawaran saat lelang, maka uang tersebut akan dikembalikan ke Negara atau APBD. Jadi pemotongan anggaran sebelum proses lelang dengan Silpa itu beda, dan tidak bisa disamakan,
Penghematan dengan pemotongan harga atau nilai proyek, seharusnya dilakukan saat perencanaan awal, sehingga proyek yang akan dilaksanakan kedepan itu yang perlu dievaluasi,atau dilakukan perubahan dalam perencanaanya, dan akan muncul nilai atau harga sebagaimana yang diinginkan, baru dilakukan lelang. Jadi bukan nilai pagu lelang di potong dulu 25%, baru dilelang 100%, karena dalam lelang pasti ada selisih harga penawaran dari peserta tender, dan pasti akan ada Silpa lagi,
Lebih jauh H Rukun menegaskan, selisih harga yang ditawar peserta lelang adalah proses bisnis murni, misalkan proyek seharga 100 dilakukan pelelangan, dan kemudian ada yang menawar 85 berarti ada silfa 15%, demikian juga jika ada yang berani menawar 80, berarsi yang 20% itu disebut silpa, dan selisih penawaran itu adalah hasil proses pasar murni dan dilakukan secara tertutup, tetapi kalau sebelum dilelang tiba-tiba nilainya dipangkas 25%, berarti yang ditawarkan bukan dengan kualitas 100% tersebut, dan nilainya yang ditawarkan hanya seharga 75%, jadi pemotongan sebelum dilelang itu bukan silpa, dan penawaran barang/proyek fisik, seharga 100 dengan harga 75 jelas berbeda kualitasnya, dan harus diketahui pemotongan seperti itu bukan silpa.
Misalkan contoh lagi, Pemda menawarkan pengadaan mobil seharga 100 juta tiba-tiba dipangkas 25% terlebih dahulu, dan meminta panitia lelang untuk dapat menyediakan mobil seharga 100 juta dengan penawaran 75 juta, ini jelas tidak sesuai, dan tidak mungkin terlaksana, berarti itu yang ditawarkan untuk pengadaan barang mobil seharga 75 juta bukan 100 juta, kualitasnya jelas akan beda.
H Rukun juga menegaskan, saat lelang digelar, ada sisa estimasi dari harga yang ditawarkan, adalah rahasia perusahaan dan bentuk persaingan bisnis murni,sebuah persaingan pasar bebas, disamping itu harga penawaran estimasi pelelangan atau pagu 100 % adalah hasil perhitungan resmi untuk sebuah pekerjaan, yang disusun oleh konsultan yang ditunjuk Pemda DKI. Tidak mungkin orang akan menawar 75% dari PAGU , langsung menjadi pemenang tender. Dalam Peraturan Presiden bahkan sudah ditegaskan, bahwa apabila ada Perusahaan yang menawar dibawah 80%, maka harus menyertakan persyaratan jaminan pelaksanaan dua kali lipat, ungkapnya tegas.
0 komentar:
Posting Komentar