Seskoal Gelar Round Table Discussion tentang Penyelesaian Konflik Papua dari Perspektif Sosiokultural
Seskoal, 18 September 2019 – Komandan Seskoal Laksamana Muda TNI Dr. Amarulla Octavian, S.T., M.Sc., D.E.S.D, mengatakan bahwa mengelola dan merawat ke-Indonesia-an sebagai bangsa yang majemuk, membangun sikap “Aku Indonesia” - Negara berbasis Bhinneka Tunggal Ika memang tidaklah mudah, seringkali berhadapan dengan pelbagai isu-isu sensitif bernuansa suku, agama, ras, antar golongan (SARA), kesenjangan sosial, disparitas pembangunan dan lain-lain yang dapat berdampak pada stabilitas nasional dan menguji kadar/derajat nasionalisme. Hal ini dapat dipahami mengingat struktur masyarakat indonesia dibangun dari beragam suku, agama, etnisitas provinsionisme, geografis, bahasa, etnik, budaya, geografi, tingkat pendidikan maupun status sosial.
Sambutan yang dibacakan Seklem Seskoal Kolonel Laut (S) Hardiko tersebut diungkapkan dalam kegiatan Round Table Discussion (RTD) dengan topik “Penyelesaian Konflik Papua dari Perspektif Sosiokultural” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Maritim (Pusjianmar) Seskoal pada Rabu (18/09).
Sebagai narasumber, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., Wakil rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Jakarta, mengemukakan bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain atau pemerintah karena perbedaan yang diekspresikan, diingat, dan dialami serta sebagai persepsi mengenai adanya perbedaan mengenai kebutuhan atau intres, yang disebabkan oleh perbedaan tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, dan perilaku setiap pihak yang terlibat.
“Diperlukan beberapa langkah solusi dalam menyelesaikan permasalahan Papua” kata Masri. Langkah yang direkomendasikan adalah komitmen penegakkan hukum pelanggaran HAM dan tindakan rasis terhadap masyarakat Papua; mengambil langkah tegas dan menghukum aktor intelektual pencipta kerusuhan di Papua; dan menyelenggarakan dialog-partisipatif dengan pemerintah daerah, tokoh dan unsur masyarkat, tegas doktor yang berlatar belakang ilmu sosilogi tersebut.
Prof. Masri juga merekomendasikan untuk meminimalisir pendekatan kemanan dan kebijakan militerisme dalam penanganan Papua melalui sikap empati atau mengambil hati dan menjaga martabat dan kehormatan masyarakat Papua, melaksanakan pembangunan yang betul dibutukan (real need) masyarakat Papua seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi secara berkeadilan dan berkelanjutan, serta pendekatan pembangunan sosio-kultural berupa dialog, partisipatif, keunikan karakteristik, memperhatikan keragaman ekologi dan kearifan lokal masyarakat Papua, dan konsistensi penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus).
Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, sebagai narasumber kedua menegaskan perlunya memahami dan menyelesaikan kompleksitas Papua secara multidemensial.
“Masalah di Papua sangat kompleks, sumber permasalahan sudah terang benderang di depan mata, akan tetapi masih lemah komitmen, keberanian dan terobosan (‘business as usual’) yang dilakukan selama ini” tegas peneliti CSIS ini. Perlu langkah solutif papua secara multidimensional yang meliputi dimensi Inter-linking factors, Ekonomi, Politik, HAM, Internasional, Budaya, Tata Pemerintahan (Governance), Sistem Elektoral dan Kepemimpinan, lanjut Vidhyandika.
Diskusi yang dilaksanakan dihadiri 45 orang terdiri dari Staf Potensi Maritim Mabesal, Pusjiantra TNI, Dosen Seskoal, serta Perwira Mahasiswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-57 ini diharapkan mampu memberikan pandangan secara akademis maupun empiris membangun kerangka pemikiran untuk memahami pembangunan dan keamanan di Papua dalam perspektif sosiokultural.
Seskoal, 18 September 2019 – Komandan Seskoal Laksamana Muda TNI Dr. Amarulla Octavian, S.T., M.Sc., D.E.S.D, mengatakan bahwa mengelola dan merawat ke-Indonesia-an sebagai bangsa yang majemuk, membangun sikap “Aku Indonesia” - Negara berbasis Bhinneka Tunggal Ika memang tidaklah mudah, seringkali berhadapan dengan pelbagai isu-isu sensitif bernuansa suku, agama, ras, antar golongan (SARA), kesenjangan sosial, disparitas pembangunan dan lain-lain yang dapat berdampak pada stabilitas nasional dan menguji kadar/derajat nasionalisme. Hal ini dapat dipahami mengingat struktur masyarakat indonesia dibangun dari beragam suku, agama, etnisitas provinsionisme, geografis, bahasa, etnik, budaya, geografi, tingkat pendidikan maupun status sosial.
Sambutan yang dibacakan Seklem Seskoal Kolonel Laut (S) Hardiko tersebut diungkapkan dalam kegiatan Round Table Discussion (RTD) dengan topik “Penyelesaian Konflik Papua dari Perspektif Sosiokultural” yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Maritim (Pusjianmar) Seskoal pada Rabu (18/09).
Sebagai narasumber, Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag., Wakil rektor bidang Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Jakarta, mengemukakan bahwa konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain atau pemerintah karena perbedaan yang diekspresikan, diingat, dan dialami serta sebagai persepsi mengenai adanya perbedaan mengenai kebutuhan atau intres, yang disebabkan oleh perbedaan tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, dan perilaku setiap pihak yang terlibat.
“Diperlukan beberapa langkah solusi dalam menyelesaikan permasalahan Papua” kata Masri. Langkah yang direkomendasikan adalah komitmen penegakkan hukum pelanggaran HAM dan tindakan rasis terhadap masyarakat Papua; mengambil langkah tegas dan menghukum aktor intelektual pencipta kerusuhan di Papua; dan menyelenggarakan dialog-partisipatif dengan pemerintah daerah, tokoh dan unsur masyarkat, tegas doktor yang berlatar belakang ilmu sosilogi tersebut.
Prof. Masri juga merekomendasikan untuk meminimalisir pendekatan kemanan dan kebijakan militerisme dalam penanganan Papua melalui sikap empati atau mengambil hati dan menjaga martabat dan kehormatan masyarakat Papua, melaksanakan pembangunan yang betul dibutukan (real need) masyarakat Papua seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi secara berkeadilan dan berkelanjutan, serta pendekatan pembangunan sosio-kultural berupa dialog, partisipatif, keunikan karakteristik, memperhatikan keragaman ekologi dan kearifan lokal masyarakat Papua, dan konsistensi penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus).
Dr. Vidhyandika Djati Perkasa, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, sebagai narasumber kedua menegaskan perlunya memahami dan menyelesaikan kompleksitas Papua secara multidemensial.
“Masalah di Papua sangat kompleks, sumber permasalahan sudah terang benderang di depan mata, akan tetapi masih lemah komitmen, keberanian dan terobosan (‘business as usual’) yang dilakukan selama ini” tegas peneliti CSIS ini. Perlu langkah solutif papua secara multidimensional yang meliputi dimensi Inter-linking factors, Ekonomi, Politik, HAM, Internasional, Budaya, Tata Pemerintahan (Governance), Sistem Elektoral dan Kepemimpinan, lanjut Vidhyandika.
Diskusi yang dilaksanakan dihadiri 45 orang terdiri dari Staf Potensi Maritim Mabesal, Pusjiantra TNI, Dosen Seskoal, serta Perwira Mahasiswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-57 ini diharapkan mampu memberikan pandangan secara akademis maupun empiris membangun kerangka pemikiran untuk memahami pembangunan dan keamanan di Papua dalam perspektif sosiokultural.
0 komentar:
Posting Komentar